Jakarta - Terbentuknya asosiasi industri dan perdagangan aftermarket sangat diperlukan untuk menjembatani kepentingan para pebisnis aftermarket.
Melalui asosiasi, maka para pemain bisa saling belajar serta menyatukan suara guna mengupayakan kepentingan bersama termasuk menggempur hambatan-hambatan bisnis.
Ujung-ujungnya konsumen yang diuntungkan, misalnya ketersedian produk dengan kualitas terjamin dan harga rasional.
Kendala Bisnis
Bisnis aftermarket ini ternyata tidak seenak kelihatannya dan menyimpan banyak kendala. Hal ini terungkap ketika petinggi-petinggi perusahaan aftermarket kumpul bareng pada kegiatan OTOMOTIF Gathering Aftermarket, Agustus lalu.
Menurut Ayong Jeo, Bos Kramat Motor, permasalahan seperti regulasi pemerintah yang memberatkan cukup jadi batu sandungan bagi para pelaku bisnis aftermarket.
“Masalah perizinan, regulasi, dan juga bea cukai atau import duty menjadi masalah tersendiri buat kita,” buka pria yang akrab disapa Koh Ayong. Bahkan tak jarang pelaku usaha bermain ‘kucing-kucingan’ dengan aparat.
Selain itu, pemain aftermarket juga punya hak memberikan edukasi kepada distributor hingga ke konsumen selaku end user. “Jadi bisa ada edukasi yang bagus untuk pemain-pemain di industri aksesori, misal untuk tata cara pemasangan yang aman dan tidak merusak mobil,” imbuh Ayong.
Sementara itu menurut Andri Wahyu DA, Country Manager Philips Automotive Lighting Indonesia dari lini bisnis lampu mobil dan motor, permasalahan yang dihadapi memang tidak jauh dari regulasi atau peraturan pemerintah yang belum jelas. “Saya setuju dengan pak Ayong. Yang jadi poin untuk ke pemerintah.
Karena kita sebagai pemain enggak dikasih input akan seperti apa regulasinya. Contoh di form E, peraturan internasional, kita enggak diberikan. Kadang bea cukai butuh peraturan SNI untuk clearance, tapi kadang enggak. Jadi ada bargaining ke pemerintah untuk kepastian regulasi” tambah Andri.
Editor | : | Parwata |
KOMENTAR