Rapat pertama ternyata tidak menghasilkan keputusan.
Kebanyakan dari peserta rapat kala itu mengajukan ide untuk membangun patung wayang, dan patung Kapten I Wayan Dipta.
Menurut penjelasan dari Gus Balik, kalau patung wayang, dan patung Kapten I Wayan Dipta, tidak akan menjadi kebanggaan masyarakat Bali khususnya di Gianyar.
Sebab, kata dia, kalau di daerah lain dibangun patung pejuang dan wayang, maka patung yang akan dibuat itu tidak akan menjadi kebanggaan lagi bagi masyarakat Bali khususnya Gianyar.
Akhirnya, setelah dilaksanakan rapat kedua, diputuskanlah untuk membangun patung Sang Hyang Brahma Lelare itu.
(BACA JUGA: Gahar! Kawasaki Versys-X 250 'Dingayunkan', Bukan Buat Main Gas Tipis-Tipis)
Brahma Lelare adalah patung yang berwujud bayi.
Wujud bayi dipilih karena sesuai filosofi bahwa bayi adalah simbol kelahiran manusia di dunia.
Lantas, mengapa patung itu dibangun di Jalan Raya Sakah, tepatnya di Banjar Belah Tanah?
Mungkin itulah yang menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat Bali.
Menurut penjelasan Gus Balik, simbol Siwa Budha itu dibangun di sana karena tanah yang terdapat di simpang tiga Jalan Raya Sakah itu, secara niskala disebut Blah –Tanah-Sake-Ah, artinya di tengah belahan tanah, terdapat sebuah sake (adegan) dan ah (tidak ada batas antara atas dan bawah).
“Blah Tanah, Sake Ah, itulah Hyang Tibe. Di sebelah barat patung itu kan ada pura Hyang Tibe,” ucap pria berusia 64 tahun ini.
Editor | : | Joni Lono Mulia |
KOMENTAR