Otomotifnet.com - Tepat di tanggal 26 Oktober 2020, jadi momen paling menegangkan dan tak akan dilupa Sukamto bersama Toyota Kijang merahnya.
Tepat 26 Oktober, Yohanes Berman Sukamto, ia kini biasa dipanggil Pakde Kamto, dua kali naik turun Umbulharjo-Kinahrejo, di saat-saat tergenting menjelang letusan eksplosif Merapi.
Menggunakan Toyota Kijang warna merah nopol AB 1927 KZ, Pakde Kamto membantu mengevakuasi warga Ngrangkah hingga Kinahrejo.
Saat naik pertama sesudah pukul 17.00, ia membawa serta Yopi, relawan Satlak Penanggulangan Bencana Sleman.
Baca Juga: Toyota Calya Adu Tonjok Lawan Truk, Wajah Babak Belur, 3 Penumpang Luka Sobek
Keduanya melesat naik hingga pertigaan gerbang pendakian Merapi via Kinahrejo. Di lokasi ini terdapat tower Early Warning System (EWS).
Ada menara besi yang dipasangi sirine bahaya. Yopi menyalakan tombol sirine, beberapa detik sesudah pukul 17.02. Itulah letusan pertama Merapi.
Sesudah sirine meraung-raung, Yopi dan Pakde Kamto turun sembari menyisir serta mengangkut beberapa warga yang bersedia diajak turun.
“Ada yang sudah siap di pinggir jalan. Tapi jumlahnya sudah tidak banyak. Orang tua dan anak-anak serta ibu hamil sudah hari sebelumnya dievakuasi,” kata Pakde Kamto.
Baca Juga: Fortuner Waketu DPRD Kuningan Kecelakaan, Kaca Retak Airbag Ngembang, Tubuh Langsung Diurut
Kisah Sukamto dan Kijang merahnya sengaja diangkat karena foto dan video aksi heroik Sukamto terekam di kamera wartawan dan divideokan seorang jurnalis televisi.
Sejak peristiwa 26 Oktober 2010, belum pernah ada media manapun yang mengangkat sosok Sukamto dan cerita evakuasi di detik-detik akhir sebelum Merapi menyembur.
“Saya tidak kepikiran apa-apa waktu itu. Mengalir saja, berusaha bantu warga yang bersedia dievakuasi,” kata Sukamto sembari menyebut suasana sore itu seperti biasa saja.
Tidak banyak kendaraan atau motor lalu lalang sepanjang jalur jalan antara pertigaan Balai Desa Umbulharjo hingga Kinahrejo.
Baca Juga: Toyota Avanza Gagal Nikung, Terguling di Jalanan Licin, Pengemudi Tewas Terlempar
Setelah naik dan kemudian turun menurunkan warga di balai desa, Sukamto bersiap kembali naik. Ia mengajak serta seorang pegawainya.
Seorang jurnalis televisi minta izin ikut naik dan duduk di kursi tengah. “Waktunya mungkin sudah menjelang 17.30 WIB,” kata lulusan SMP dan SPG Kanisius Pakem ini.
Suasana langit mulai redup saat kendaraan bergerak mendaki lereng gunung. Sirine masih meraung-raung. Kamto mendengar lewat radio komunikasi atau HT yang ada di mobilnya.
Suara gemuruh terdengar makin jelas dari arah puncak Merapi. “Suara gluduk-gluduk, dan abu sudah turun,” kenangnya.
Baca Juga: Toyota Avanza Mendadak Mogok, Bikin Macet Jalanan, Kolong Dicek Ada Ular Ngegantung
Wiper kaca terlihat berat mengayun. “Saya waktu itu tidak punya rencana atau target ke Mbah Maridjan,” kata Kamto yang tidak ikut komunitas relawan manapun saat itu.
Mesin mobilnya meraung-raung saat mendaki tanjakan jelang Dusun Kinahrejo. “Mesin kendaraan tidak ada masalah. Lancar, cuma jalan pelan, kaca buram,” lanjutnya.
Mobil berhenti di pertigaan jalan menuju rumah Mbah Maridjan. Di titik itulah Kamto memutar kendaraannya. “Sekali putar bisa balik arah. Saya sampe heran, karena jalannya sempit,” ujarnya.
Di sebelah barat rumah itu, Kamto melihat ada sekelompok pria duduk-duduk di teras sebuah rumah. Mereka meriung, menolak saat diajak turun.
Baca Juga: Toyota Fortuner Kayang di Tol Pasteur, Kolong Hadap Langit di Pagar Pembatas
Rekaman video yang diunggah akun You Tube Jogja Magazine juga memperlihatkan para pria itu tampak enggan dan ingin bertahan menjaga kampungnya.
Kamto yang sudah mendengar informasi di radio komunikasi supaya warga segera turun karena bahaya, meninggalkan mereka.
“Saya segera minta tinggalkan mereka, dan kita turun. Di beberapa titik kita ambil warga yang menunggu di tepi jalan,” ungkapnya.
Sukamto membawa mereka ke Balai Desa Umbulharjo, dan ia bergegas menuju Bumi Perkemahan Sinolewah, mengevakuasi barang-barang miliknya.
Baca Juga: Kijang Innova Sewaan Digadaikan Rp 50 Juta, Ditipu Pakai Atas Nama Perusahaan Batu Bara
“Saya tidak tahu lagi apa yang terjadi sesudah itu, dan hanya mendengar awan panas menyapu Kinahrejo,” ujar Kamto yang pernah membantu warga Turgo terdampak letusan 1994.
Pria berusia 61 tahun itu mengaku bersyukur, lolos dari terjangan awan panas. Andai saja ia terlambat turun, mungkin tidak akan selamat.
Saat ini Kijang merahnya juga masih dirawat sangat baik. “Saya cat ulang, karena habis erupsi itu semua berkarat karena abu vulkanik itu sangat korosif,” ujar Kamto.
Mobil itu terus menemaninya berkegiatan di lereng Merapi, dan ke berbagai tempat karena Sukamto aktif di seni kerawitan. Ia punya sanggar seni di Dusun Pandanpuro, Candibinangun.
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR