Otomotifnet.com - Tak lama lagi Pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite.
Hal ini dilakukan karena subsidi dan kompensasi energi dirasa sudah sangat membebani APBN.
Tahun ini anggaran subsidi dan kompensasi energi dialokasikan sebesar Rp 502,4 triliun, naik Rp 349,9 triliun dari anggaran semula yang sebesar Rp 152,1 triliun.
Kendati demikian, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, ada langkah lain yang bisa dilakukan pemerintah ketimbang menaikkan harga Pertalite.
Salah satunya menunda pengerjaan proyek infrastruktur, sehingga dananya bisa dialokaskan untuk subsidi energi.
"Tunda proyek infrastruktur dan alokasikan dana untuk menambah alokasi subsidi energi," ujarnya (19/8/2022).
Selain itu, pemerintah bisa melakukan pengalihan sebagian dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk subsidi energi.
Pengalihan anggaran juga bisa dilakukan dengan penghematan belanja pegawai, belanja barang dan jasa, termasuk transfer ke daerah, sehingga dapat dialokasikan untuk subsidi energi.
"Pemerintah juga dibekali dengan UU darurat keuangan, di mana bisa melakukan pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR. Jadi lebih cepat dilakukan perombakan ulang APBN semakin baik," jelasnya.
Persoalan utama pada penyaluran BBM bersubsidi adalah seringkali tidak tepat sasaran.
Bhima pun menyarankan, yang perlu dilakukan adalah memperketat pengawasan, seperti pada solar subsidi.
Menurutnya, perlu pengetatan pengawasan solar subsidi untuk kendaraan angkutan di perusahaan pertambangan dan perkebunan skala besar, mengingat selama ini tingkat kebocoran solar masih terus terjadi.
Ia bilang, akan lebih mudah mengawasi distribusi solar dibandingkan pengawasan BBM untuk kendaraan pribadi, seperti Pertalite, karena jumlah angkutannya jauh lebih sedikit dibanding mobil pribadi.
"Penghematan dari pengawasan distribusi solar subsidi cukup membantu penghematan anggaran," ucap Bhima.
Penghematan anggaran energi juga dapat dilakukan dengan mendorong pembangunan jaringan gas (jargas) guna mempersempit celah subsidi Elpiji 3 kilogram (kg) ke rumah tangga yang mampu.
Selai itu, untuk menggantikan ketergantungan terhadap impor untuk Elpiji 3 kg. Adapun Bhima memperkirakan kenaikan harga Pertalite akan ditetapkan pemerintah sebesar Rp 10.000 per liter dari sebelumnya dari Rp 7.650 per liter.
Isu besaran harga Pertalite ini pun sudah banyak beredar. Dia menilai, kenaikan itu cukup tinggi yang bakal berimbas pada lonjakan inflasi.
Ia memperkirakan kenaikan harga Pertalite akan mendorong laju inflasi nasional di 2022 mencapai 6,5 persen (year on year/yoy).
"Jika kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter, diperkirakan inflasi tahun ini tembus 6 persen-6,5 persen yoy. Dikhawatirkan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015," jelasnya.
Bhima mengatakan, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi akan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Daya beli masyarakat bakal menurun sehingga akan meningkatkan jumlah orang miskin baru.
Saat ini kondisi masyarakat sedang dihadapkan dengan kenaikan harga pangan yang inflasinya mendekati 5 persen.
Terlebih, kondisi masyarakat masih belum pulih dari pandemi Covid-19, tercermin dari 11 juta lebih pekerja kehilangan pekerjaan, jam kerja dan gaji dipotong, hingga dirumahkan.
"Maka kalau ditambah kenaikan harga BBM subsidi dikhawatirkan tekanan ekonomi untuk 40 persen kelompok rumah tangga terbawah akan semakin berat. Belum lagi ada 64 juta UMKM yang bergantung dari BBM subsidi," tutup Bhima.
Baca Juga: Masih Mending Rp 10 Ribu Per Liter, Harga Asli Pertalite Tanpa Subsidi Bikin Amsiong
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR