Harga tanah yang di tepi jalan dihargai Rp 1.200.000 per meter persegi, sedangkan yang paling belakang dihargai Rp 420.000 per meter persegi.
"Kenapa dalam satu bidang, harganya sangat beda jauh? Saya juga berpikir, apakah ganti ruginya bisa dibelikan tanah yang sama strategisnya?" ucap Sutrimo.
Menurut Sutrimo, tanah yang terdampak bernilai ekonomis tinggi karena sangat subur, bisa 3 kali panen dalam 1 tahun.
Selain itu lokasinya langsung berada di tepi jalan nasional, sehingga aksesnya sangat mudah.
Dia mengatakan, mencari tanah pengganti dengan luas dan lokasi strategis yang sama, sulit didapat di Tulungagung.
"Tanah yang lebar jadi satu seperti tanah saya itu sulit didapat sekarang. Langsung menghadap jalan lagi," katanya.
Protes warga juga dipicu karena mereka tidak dilibatkan dalam penentuan harga.
Sementara warga yang keberatan dengan harga yang ditetapkan appraisal, dipersilakan menggugat lewat pengadilan sendiri-sendiri.
Hal ini yang membuat warga apatis karena mereka yakin tidak akan menang melawan negara.
"Dulu diundangnya ramai-ramai, sekarang kok disuruh menggugat di pengadilan sendiri-sendiri. Mana ada yang bisa menang," keluh Sutrimo.
Ditanya soal ganti untung tanahnya, Sutrimo mengakui memang sudah di atas harga pasar.
Ia mencontohkan, 4 tahun lalu harga tanah di bagian dalam Rp 4.000.000 per ru (16 meter persegi).
Sekarang dengan harga Rp 420.000 per meter, maka harga per ru menjadi sekitar Rp 6.720.000.
"Harganya sudah lebih mahal, tapi tidak sampai 2 kali lipat," tandasnya.
Lalu seorang mantan pejabat di Pemkab Tulungagung yang enggan disebut namanya, juga mengaku belum tanda tangan persetujuan harga ganti untung dari appraisal.
Warga masih diberi waktu untuk menandatangani dokumen harga ganti untung.
Namun yang tidak setuju memang hanya diberi jalan lewat pengadilan.
"Kalau memang punya data pendukung dan yakin harganya tidak sesuai, bisa menggugat di pengadilan. Saya masih menunggu semuanya jelas dulu," ucapnya.
Baca Juga: Anak Cucu Cuma Dapat Cerita, Tol Kediri-Tulungagung Gusur Delapan Desa di Tulungagung
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR