Biasanya “omprengan” adalah mobil pribadi seorang pegawai yang dijadikan angkutan bagi para pegawai lain yang kebetulan satu arah saat berangkat dan pulang kerja. Segi positifnya bisa mengurangi populasi kendaraan di ibu kota alias mensukseskan program 3 in 1 yang berlaku di Ibu kota.
Namun sayangnya, saat ini banyak yang menjadikan angkutan umum ini menjadi mata pencaharian tetap buat sebagian orang. Jenis mobil omprengan biasanya mobil-mobil dengan kapasitas yang cukup banyak untuk mengangkut penumpang. Seperti Suzuki Carry, APV, Daihatsu Grand Max, Luxio, sampai Toyota Kijang.
Sayangnya dampak persaingan yang tidak sehat diantara omprengan lain, pemilik mobil jadi mengesampingkan aspek keselamatan dan keamanan penumpang.
Tidak sedikit juga yang memang berniat mencari rupiah dengan menjadi supir “omprengan”. Ini memang sudah menjadi pekerjaan sehari-hari. “Untuk melunasi mobil dan membayar kontrakan saya memang hidupnya dari sini mas,” jawab pria yang akrab disapa Kancil.
“Padahal pabrikan sudah menetapkan batas maksimum bobot dan kapasitas penumpang. Dan bila jumlah kapasitas melebihi daya angkut kendaraan akan sangat berbahaya buat keselamatan penumpang terutama di jalan tol,” jelas Udar Pristono, Kadishub DKI Jakarta.
Setiap harinya lebih dari 30 mobil “omprengan” mengangkut penumpang di setiap titik atau wilayah. Seperti di wilayah Bekasi, Daan Mogot, Benhil, UKI dan lainnya. “Jika di total semua omprengan ilegal yang beroperasi jumlahnya bisa ratusan,” tambah Udar.
Tim OTOMOTIF beberapa waktu lalu pernah mencoba merasakan transportasi ini di daerah Bekasi menuju Jakarta pada pagi hari. Hasil obrolan dengan penumpang rata-rata tujuannya adalah kawasan perkantoran daerah perkotaan. Alasannya penumpang pun beragam, mulai dari menghindari 3 in 1 jika membawa mobil sendiri, bisa turun di dekat kantor, sampai kemudahan mendapatkan omprengan tepat waktu dibanding angkutan umum lain.
Ongkos yang harus ditanggung pun tidak jauh berbeda dari bus. Para penumpang hanya merogoh kocek kisaran Rp 9.000 – Rp 10.000. Namun untuk trayek tertentu harganya bisa hingga sekitar Rp 20.000-an. Saat ini pihak Dishub dan aparat kepolisian akan mencoba menertibkan kendaraan pelat hitam yang kian marak beroperasi di wilayah DKI.
Karena memang pada hakikatnya angkutan ini ilegal. Tidak memiliki ijin usaha atau operasional dan ijin trayek. “Tidak mudah memang, namun kita akan berusaha yang terbaik untuk terus menertibkan angkutan yang jumlahnya sangat banyak dan tidak mendapatkan izin ini,” tutupnya. (mobil.otomotifnet.com)