Hal itupun segera mendapat respon cepat dari pihak TNI Angkatan Darat melalui Kasubdit Penum TNI AD, Kolonel Zaenal Muttaqin.”Kami sudah memeriksa oknum TNI dimaksud. Kami menyayangkan kejadian itu. Kedua belah pihak tidak dapat mengendalikan emosi, baik anggota kita maupun pengendara motor,” kata Zaenal Muttaqin. Terlepas dari siapa yang bersalah, kejadian memang cukup meresahkan.
OVERACTING
Menurut kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, melihat kasus ‘cowboy Palmerah’ dari sisi keilmuannya. “Orang yang bawa senjata, cenderung overacting dan membuat emosi suka naik,” ujar Adrianus.
Karena itu, sebaiknya yang memiliki senjata itu melekat pada jabatannya. “Seperti anggota TNI/Polri. Dan harus selalu berprinsip, tidak ada kecuali. Kalau di sini, kan selalu ada kecuali. Sehingga yang semestinya tidak berhak pun bisa memiliki senjata itu,” lanjutnya.
Secara psikologis, adanya aparat yang membawa senjata itu membuat rasa aman masyarakat. Mereka merasa terlindungi. Maka idealnya ya aparat saja yang membawa senjata.
Selanjutnya, Adrianus mensinyalir ada unsur komersialisasi. Karena memang faktor demand sangat tinggi, terutama para pengusaha yang memiliki duit banyak, lalu berusaha bagaimana bisa memiliki senjata. “Di sini kemudian uang dan kekuasan yang berbicara,” lanjut Adrianus.
LALULINTAS SEMRAWUT
Sementara itu, Neta S Pane selaku ketua presidium IPW menerangkan peristiwa koboi Palmerah adalah dampak dari tidak jelasnya tata kota dan manajemen lalulintas perkotaan serta tidak layaknya sistem angkutan massal (publik). Akibatnya, jalanan dan jalan raya menjadi tong sampah tempat berkumpulnya angkutan umum, mobil pribadi, bus, truk, kontainer, pejalan kaki, pedagang kaki lima, asongan, pengemis, pengamen dan lain-lain.
“Lalulintas yang semrawut dan padat membuat para pengguna jalan maupun pengendara kerap terjebak dalam tingkat stres yang tinggi. Emosi mereka gampang terpicu dan kerap membuat mereka bertindak di luar kendali dan di luar akal sehat mereka sendiri,” ungkap Neta.
Pada tingkat pertama, pengendara cenderung ugal-ugalan dan menjadi pemain sirkus di jalanan. Pada tingkat kedua, mereka kerap tidak peduli dengan keselamatannya, setiap ada cela, mereka nekat masuk dan menerobos. Pada tingkat ketiga, ketika ada masalah, mereka gampang main hakim sendiri, main tendang, main pukul, mengancam, bahkan menembak.
Kasus koboi Palmerah adalah contoh kecil. Contoh lain, tiga tahun lalu di Kalimalang, Bekasi, Jawa Barat, pernah ada sopir angkot ditembak pengendara di jalanan, sampai sekarang kasusnya tidak terkuak. Kasus lainnya, main pukul-pukulan akibat bersenggolan kendaraan kerap terlihat di jalanan di jakarta. Solusinya tentu tdk bisa kasus perkasus.
“Pemda dan polisi harus segera menata sistem lalulintas di Jakarta agar jalanan tidak menjadi tong sampah. Tapi ini tidak mudah karena pemerintah tidak pernah punya kebijakan melakukan moratorium pada industri otomotif. Akibatnya jumlah kendaraan bermotor terus melonjak, ujung-ujungnya mereka terus menerus memadati jalanan di kota besar,”lanjut Neta. (mobil.otomotifnet.com)