Wacana Solusi Kemacetan Berbuah Bencana

Editor - Selasa, 14 September 2010 | 09:32 WIB

(Editor - )

OTOMOTIFNET - Macet lagi, lagi macet! Kalimat itulah yang kerap kita ucapkan setiap hari sebagai masyarakat yang tinggal atau beraktivitas di kota Jakarta. Masalah kemacetan lalu lintas sudah bukan hal yang aneh lagi, sampai-sampai ungkapan “Kalau enggak macet ya bukan Jakarta namanya!” jadi ikon kota yang menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia sejak tahun 1964 di masa Gubernur Soemarno ini.

 Berbagai macam wacana atau bahkan sudah jadi kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta maupun pemerintah pusat sudah dilontarkan dan diterapkan. Namun hasilnya nol besar. Malah jadi ‘bencana’ baru bagi masyarakat, baik pemilik kendaraan ataupun yang naik angkutan umum.

Jalan Dan Jumlah Kendaraan

Berdasar pengamatan OTOMOTIF, cukup banyak wacana dan kebijakan yang ternyata kurang efektif untuk mengatasi kemacetan lalin (lalu lintas) di wilayah Ibukota Jakarta.

Menurut Darmaningtyas, direktur Ins­titut Transportasi (INSTRAN), “Kalau di­lakukan secara simultan, itu bagus. Tapi itu kan baru wacana, strategic plan-nya belum terlihat. Master plan aja belum ada, yang ada baru wacana. Kalau sudah ada strategic plan yang jelas, kita baru bisa berharap akan ada perbaikan. Tapi kalau cuma wacana ya enggak akan berdampak apa-apa,” jelas pria yang akrab disapa Tyas ini.

Contoh, wacana yang masih hangat adalah perbandingan jumlah kendaraan bermotor dengan ruas jalan. “Teori perbandingan jalan dan kendaraan itu sudah usang, sudah ditinggalkan banyak perencana kota. Karena tidak pernah ada teori yang bisa membuktikan pada perbandingan tertentu tidak akan ada kemacetan,” jelas Tyas.

Untuk situasi kota besar seperti Jakarta sekarang, lebih tepat memakai pendekatan TDM (Traffic Demand Management). “Mengatur pergerakan lalin, itu yang lebih rasional. Kalau kita liat jumlah kendaraan dan jalan, konsekuensinya kalau enggak sebanding harus membangun jalan baru. Sementara tiap kali membangun jalan baru akan membuat bangkitan munculnya kendaraan baru. Kalau ada jalan baru atau diperlebar, yang lewat bukan hanya kendaraan yang biasa lewat situ, tapi juga tempat lain. Karena dianggap jalan itu tidak macet,” papar pria yang juga wakil ketua MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) ini.

Di negara maju, masalah kemacetan diatasi dengan mengembangkan angkutan umum dan kendaraan non-bermotor seperti sepeda, karena tidak membutuhkan space yang besar. Seperti Seoul dan Boston, jalan tol dihancurkan untuk ruang terbuka publik.

“Itu karena mereka tidak percaya lagi dengan teori jalan harus sebanding dengan jumlah kendaraan. Justru yang mereka lakukan mengurangi jumlah kendaraan dengan mengurangi jalan. Tapi semua kota itu selalu menyediakan transportasi massa,” lanjut penasehat Komunitas Pengguna Busway ini.

Dalam pengamatannya, sebagian perencana Jakarta masih memakai teori perbandingan jalan. “Di Jakarta jadi repot karena pilihan transportasi belum banyak. Busway jumlahnya terbatas, kereta juga masih buruk, MRT belum ada,” katanya.

Menurutnya, penambahan underpass dan flyover, seperti Pancoran yang dulu hanya ada 1 flyover, lalu 2004 ditambah lagi, itupun tidak menjawab permasalahan. Begitu pula rencana pembangunan flyover dari Kampung Melayu sampai Tanah Abang, nantinya akan tetap macet.

“Enggak akan mengatasi, hanya menambahkan. Fenomena macet total 2014 itu sudah mulai terlihat saat ini. Tapi kalau ada tindakan penambahan angkutan massal, pengurangan kendaraan pribadi, bisa jadi itu tidak akan terjadi. Tapi kalau tetap kondisinya seperti sekarang, bisa jadi malah lebih cepat. Asumsi itu dibikin tahun 2004, pertumbuhannya belum seperti sekarang ini,” papar lulusan fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada ini.

Tak dipungkiri, pembangunan jalan baru malah mendorong pembangunan gedung-gedung perkantoran, hotel dan mal-mal baru di sepanjang jalan tersebut. Akibatnya, memicu bangkitnya kendaraan bermotor di lokasi tersebut.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Transportasi di Jakarta, Menjemput Maut’, Tyas menyimpulkan bahwa apa yang disebut dengan road ratio (rasio jalan) adalah suatu imajinasi yang saatnya ditinggalkan. Karena dalam prakteknya, road ratio yang ideal tidak pernah terjadi.

Bahkan, katanya, sebetulnya tidak pernah ada teori yang mengatakan kalau pada tingkat rasio X persen tidak akan ada kemacetan. “Yang ada adalah asumsi saja. Terbukti di New York (AS) yang tingkat road ratio-nya mencapai lebih dari 26% pun tidak serta merta terbebas dari kemacetan.”


Pembangunan Underpass untuk mengatasi kemacetan malah merangsang orang beli mobil

Demikian wacana memperbanyak jalan tol yang dimaksudnya untuk mengatasi kemacetan lalin. Tapi apa lacur, di sana malah timbul titik kemacetan baru di Jakarta saat ini. Coba perhatikan tol Kebon Jeruk (Tomang-BSD), tol dalam kota (Cawang-Grogol-Tanjung Priok) atau tol-tol lainnya. Yang awalnya jalan bebas hambatan, ujung-ujungnya macet juga. Tarif tol naik terus bukan menjadi solusi.

Karena memang pembangunan jalan tol sebenarnya bukan untuk mengatasi kemacetan lalin, tapi semata urusan bisnis yang mencari keuntungan sebesar-besarnya. Coba Anda pikirkan, kenapa swasta enggak mau bikin jalan umum (reguler)? Karena gak ada cuannya (untung, red)!

Intinya, pembangunan atau penambahan ruas jalan, mau itu jalan reguler, flyover, underpass ataupun tol sekalipun, malah merangsang orang untuk membeli kendaraan bermotor. Karena hadirnya jalan layang dan tol baru bakal menambah banyak jumlah penumpang angkutan umum yang beralih ke kendaraan pribadi karena lebih nyaman.

Busway Dilupakan

Kebijakan lain adalah bus rapid transit (BRT) yang diwujudkan melalui jalur khusus bus atau lebih dikenal dengan busway. Gubernur Sutiyoso sebagai penggagas mengoperasikan koridor I (Blok M-Kota) tahun 2004. Sampai akhirnya koridor II-VII berjalan cukup lancar dan sanggup meminimalkan kemacetan.

Pada tahun 2007, tampuk pimpinan Ibukota Jakarta berpindah tangan ke Dr. Ing. Fauzi Bowo. Di tangan pria yang akrab disapa Bang Foke ini malah melempem, terutama kebijakan mengatasi kemacetan lalin di wilayahnya.

Bayangkan, 2 tahun kepemimpinannya, belum tampak tanda-tanda kelanjutan pengembangan sistem transportasi. Contoh perkembangan busway yang stagnan, bahkan boleh dibilang terjadi kemunduran.

Kekurangnyamanan baik di dalam bus ataupun di halte, penuh sesak, antre, lama menunggu, terjadi tindak kejahatan, petugas kurang ramah sampai pelecehan seksual jadi problematika penikmat busway yang dinamai Trans Jakarta ini.

Bahkan, rencana penambahan jalur Trans Jakarta dari koridor 8 sampai 10 yang sudah dibuat rapi, akhirnya terbengkalai lantaran armada bus yang belum siap.

Alhasil, menurut Prof. Dr. Danang Pari­kesit, ketua umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), jumlah Trans Jakarta saat ini jumlah orang yang ingin menikmatinya jadi terhambat.

“Jika dikalkulasi, Trans Jakarta saat ini hanya sanggup mengangkut sekitar 300 ribu orang/hari, kereta api commuter (Jabotabek) sekitar 300-350 ribu orang/hari. Total daya angkut per hari yang bisa dilayani angkutan umum ini maksimal sekitar 650 ribu orang/hari, di luar angkutan umum lain macam bus kota dan mikrolet,” terangnya.

Tulus Abadi, pengurus harian YLKI, pernah melakukan survey ke 3.000 orang, di awal pelaksanaan ada 25% orang yang berpindah dari kendaraan pribadi. Trennya sebenarnya juga tunjukan hasil postif, sampai 40% responden sudah menyatakan berpindah ke moda busway itu.

Hanya saja, seperti biasa, pelaksanaan program ini tidak konsisten. Ia menyoroti soal ketersediaan lahan parkir di sekitar halte busway, sarana halte, koordinasi penyedia feeder bus, dan sejenisnya. “Ini dulu deh coba lebih dibenahi, bisa atau tidak,” tukas Tulus.

Penulis/Foto: Tim Otomotif / Dok.Otomotif, Salim