Jakarta - Sampai disini, dalam skema perdagangan global, baru kita mempertanyakan, apa langkah selanjutnya dari pemerintah saat sudah punya posisi tawar yang sebegitu tinggi? Hanya menyerap produk asing sambil memunguti upeti dari negara asing?
Atau jangan-jangan, pemerintah pun punya pemikiran yang sama dengan bangsa asing, Indonesia merupakan pasar yang besar dan terbuka, dimana masyarakatnya begitu konsumtif. Jadi, silakan berdagang disini, kami hanya menyediakan lahannya. Segala konsekuensi silakan ditanggung para pedagang.
Sebab, produsen otomotif nasional nyatanya sejauh ini belum bicara banyak. Indonesia terlanjur mapan sebagai negara pembeli bukan pembuat. Dan terlalu banyak waktu dan biaya untuk menjadi negara pembuat, jadi kenapa tidak memaksimalkan yang ada saja--sebagai negara penyedia lahan dagang terbesar.
Asiknya, baik China maupun Amerika tidak akan bisa lagi semena-mena dengan Indonesia. Karena seperti memelihara bayi Macan, kalau tidak pandai-pandai mengayomi, ketika besar nanti sang anak bisa saja berpaling pada salah satu kekuatan dunia, bisa Amerika atau China.
"Kita selalu memberikan insentif bagi yg investasi dan membuka lapangan kerja. Dengan semua yang ada disini (pasar dan pembangunan infrastruktur), negara lain tidak akan mengabaikan kita," ujar I Gusti Putu Suryawirawan, Dirjen Industri, Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian RI.
Kebayang dong bagaimana kuatnya China sebagai adidaya disektor ekonomi bersatu dengan Indonesia yang punya lahan dagang terbesar? Kebayang juga dong, mau dibuang kemana produk-produk negara-negara TPP kalau lahan terbesarnya (China dan Indonesia) malah menjadi pesaing di industri global.
Jadi, beginilah kondisinya. Masyarakat sebagai 'juri massal' tak usah khawatir bakal tergerus. Kuncinya hanya satu, siapa saja yang tidak mau berkarya, tidak mau berinovasi dan tidak kompetitif, di manapun di dunia ini bakal tersingkir--termasuk di Indonesia.