JAKARTA - Beberapa waktu lalu Mahkamah Agung membatalkan beberapa pasal peraturan dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (PM 26/2016).
Menanggapi hal tersebut, pengamat transportasi dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan mengatakan pembatalan ini menandakan masih bobroknya pembuatan peraturan menteri perhubungan tersebut.
"Pada setiap kesempatan membicarakan PM 26/2017 para pejabat kemenhub selalu mengatakan bahwa pembuatannya regulasi yang menyangkut juga operasional taksi online ini sudah melibatkan para pakar, ahli dan pihak-pihak terkait," kata Tigor kepada OTOMOTIFNET di Jakarta, Jum'at (25/8).
"Tapi pertanyaannya, kenapa MA membatalkan isi peraturannya dan menganggap peraturan dalam PM 26/2017 tidak sah karena secara materil bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi? Setiap saya bertemu dengan para pejabat Kemenhub selalu saya mengingatkan bahwa ada beberapa pasal dari PM 26/2017 ini yang bermasalah," tambahnya.
Tigor mengaku, ketentuan ini memaksakan keberadaan taksi online sama dengan taksi konvensional. Ketentuan ini juga menandakan bahwa PM 26/2017 ini pengaturannya bias kepentingan taksi konvensional.
Taksi online merupakan sebuah kegiatan transportasi yang mendasari kegiatannya sebagai saling berbagi antar pengguna perjalanan (ride sharing).
"Para pelaku usaha taksi online tidak semuanya beroperasi penuh sebagai taksi umum seperti taksi konvensional," imbuhnya. (Otomotifnet.com)