JEPANG - Jika Kawasaki punya H2 yang dipasangi supercharger, Yamaha juga pernah memasarkan motor dengan teknologi force induction, bedanya yang dipakai adalah turbocharger. Nama motornya adalah XJ650 Turbo.
Di tahun 1981 atau tepatnya pada gelaran Tokyo Motor Show di tahun tersebut, motor yang didesain menggunakan half fairing ini diluncurkan.
Ruang bakarnya 653 cc, empat silinder dengan dua klep di tiap silindernya.
Yang unik, meski sudah pasang turbocharger, tapi masih karburator. Karbunya Mikuni berdiameter 30 mm sebanyak 4 buah.
Dibekali dengan turbin turbo keluaran Mitsubishi. Diameternya 39 mm dengan boost cuma 7,7 psi. Putaran turbin ini bisa berkitir sampai 170.000 rpm, bukan putaran mesin ya, tapi putaran turbonya.
Hasilnya, power tembus 90 dk di 9.000 rpm dan torsinya mencapai 81,7 Nm pada 7.000 rpm.
Gak terlalu besar ya? Ya.. teknologi 80an bro, kalau dikembangkan saat ini mungkin bisa jauh lebih bertenaga.
Sayangnya inovasi Yamaha pada mesin berturbo tak lagi dikembangkan.
Apa beda Supercharger dan Turbocharger?
Peningkatan tenaga menggunakan peranti forced induction selalu menjadi primadona. Ide utamanya adalah memasukkan udara lebih padat ketimbang sedotan asli mesin.
Caranya dengan memanfaatkan turbin kecil untuk meniupkan udara lebih banyak. Turbin ini pada supercharger, putarannya biasa diambil dari mesin. Rata-rata supercharger bisa memakai sampai sepertiga daya mesin buat memutar komponennya.
Maka, banyak yang menyebut efisiensinya tidak sebaik turbo. Namun efek dari supercharger lebih spontan. Karena putarannya sudah terjadi sejak stasioner dan putaran rendah.
Sedangkan turbocharger, turbinnya sendiri berputar karena tiupan gas buang dari knalpot. Meski tak membebani mesin, turbo pun punya kelemahan. Seperti adanya turbo lag. Biasa terjadi pada putaran rendah kala embusan gas buang masih kecil.