Selain itu, pihak keluarga korban yang menandatangani tidak menyertakan surat kuasa.
Menurutnya, kalau bapaknya atau ibu korban yang menandatangani kesepakatan damai itu wajar dan sah dalam arti damai kemanusiaannya.
"Tapi, itu kan yang tandatangan hanya kakak iparnya korban," ucap Puguh.
"Nah. Pertanyaan saya itu tandatangan ada surat kuasanya gak, kan gak ada, kalau gak ada berarti bukan mewakili ibu atau bapaknya korban," ucap Didik.
Kemudian secara materiil, perjanjian itu menekankan pelaku tidak ingin kena tuntutan hukum dari keluarga korban.
Padahal, Pasal 235 ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan yang menyatakan:
Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman perkara pidana.
"Dari sisi hukum tidak ada bahasa kalau dibayar itu sudah selesai begitu saja, itu tidak ada," terang Puguh.
"Bahkan, kalau gak dibayar pun, di undang-undang itu ketentuannya kalau misalkan ada yang rusak itu harus diperbaiki, kalau sakit harus diobatkan," katanya.
Sehingga, uang Rp 50 juta itu bukan berarti kasus hukumnya selesai.
"Jadi sebenarnya, uang (Rp 50 juta) itu bukan masalah damainya karena santunan itu merupakan kewajiban dari yang nabrak," ujarnya.
Seperti diketahui, terjadi kecelakaan dua pengendara Harley-Davidson.
Lokasinya di Jalan Raya Kalipucang-Pangandaran, sekitar pukul 13:00 WIB, (12/3/22).
Tepatnya di blok Kedungpalumpung, Desa Tunggilis, Kalipucang, Pangandaran, Jabar.
Akibat kecelakaan itu, dua bocah kembar, Hasan Firdaus dan Husen Firdaus meninggal.
Baca Juga: Janggal, Kesepakatan Damai Harley-Davidson Cabut Nyawa Bocah Kembar Dikomen Ahli Hukum