Rencana itu diprediksi akan mendapat banyak penolakan dari pengguna kendaraan pribadi karena masyarakat dipaksa membayar dan tidak ada pilihan lain ketika hendak melalui ruas jalan tersebut.
Hal itu dikarenakan fasilitas transportasi yang aman dan nyaman secara ekonomi sebagai kompensasinya belum tersedia.
Ketika masyarakat memilih menggunakan kendaraan umum berupa taksi online dan ojek online namun tetap terkena biaya ERP, hal itu dinilai akan memberatkan konsumen.
Menurutnya, ERP bukan satu-satunya sistem transportasi yang bertujuan untuk mengurai kemacetan.
Seharusnya, katanya, penanganan masalah transportasi mengacu pada sustainable transportation yaitu transportasi merupakan tujuan utama sebagai penggerak ekonomi wilayah perkotaan dan perkembangan sosial.
Transportasi harus mengandung unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan.
"Jadi Pemprov DKI Jakarta harus benar-benar membuktikan kepada masyarakat bahwa program ini akan berhasil dan bisa menciptakan integrasi transportasi strategis yang dapat mengatasi kemacetan dan kesulitan-kesulitan teknikalnya. Nah, ini harus dipahami Pemprov DKI Jakarta karena program ini banyak melibatkan kebijakan," ucap Budi.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah menggodok sistem jalan berbayar elektronik atau ERP di 25 ruas jalan DKI Jakarta.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Syarif Liputo mengusulkan, sistem ERP juga akan diberlakukan untuk motor.
Hal itu sebagaimana dicantumkan dalam Rencana Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik (PL2SE).
Dalam usulannya, jalan berbayar untuk motor akan dikenai tarif Rp 5.000- Rp 19.000.
Baca Juga: Jalan Berbayar di Jakarta Bakal Dikaji Ulang, Imbas Ditolak Pengendara Ojol