"Kami dan Komisi A menerima audensi dari Jumirah tersebut, Kepala Desa Kandangan juga hadir. Tapi, Kepala Dusun H dan warga bernama N tidak hadir," kata Bondan, (12/4/23).
Kejanggalan tersebut, kata Bondan, H dan N mendatangi Jumirah tepat setelah pencairan dana ganti rugi tol diterima pada 12 Desember 2022.
"Jadi, pagi dana diserahkan, sorenya langsung meminta istilahnya kelebihan bayar tersebut. Datang tanpa dokumen," papar dia.
"Datang menagih dan meminta kelebihan kan bukan kewenangan perangkat dusun dan warga, darimana mereka tahu ada kelebihan bayar. Padahal, Kades saja tidak tahu kejadian ini," kata Bondan.
Selain itu, tim appraisal telah melakukan verifikasi terkait tanaman warga.
"Tinggi tanaman belum ada 50 sentimeter masuk kategori tanaman kecil, nilainya Rp 50.000. Tapi, ini masuk kategori sedang harga Rp 400.000, berarti kesalahan ada di tim appraisal," ujar dia.
Menurut Bondan, berdasar penuturan Jumirah, jika bersedia mengembalikan uang kelebihan bayar Rp 902 juta, dijanjikan mendapat Rp 100 juta.
"Kan semakin aneh, kalau itu kelebihan bayar semua masuk ke negara. Lha ini kok seperti cashback, kalau membayar dapat uang pengembalian," ungkap dia.
"Saat Jumirah menyampaikan hanya akan mengembalikan Rp 50 juta, mereka juga berkata 'kalau uang segitu, tim yang lain juga belum dapat bagian' ini semakin janggal karena ada rencana pembagian," kata Bondan.
Dengan pola tersebut, Bondan menduga ada oknum yang bermain demi mendapatkan keuntungan pribadi.
"Ini dugaan ya, karena kalau bu Jumirah tidak mungkin terlibat dalam konspirasi ini. Bisa jadi di daerah lain juga ada, menyasar pemilik lahan dengan modus sama, untuk kepentingan oknum," papar dia.
Kepala Dusun Balekambang, Desa Kandangan, Bawen, Kabupaten Semarang, Hartomo membantah tuduhan dirinya yang meminta uang ganti rugi Rp 1 miliar ke Jumirah.
Menurutnya, dirinya orang yang pertama kali melaporkan adanya kelebihan bayar yang diterima Jumirah terkait penghitungan ukuran pohon.
"Jadi pada 13 Desember 2022 setelah uang ganti diterima warga Kandangan, saya diminta menjadi saksi oleh keluarga Jumirah," jelasnya, (13/4/23) di Balai Desa Kandangan.
Awalnya dia diminta menjadi saksi karena dilakukan pembagian uang ke keluarga Jumirah.
"Uang yang diterima Rp 4 miliar. Terdiri dari Rp 3 miliar uang lahan dan Rp 1 miliar atau tepatnya Rp 902 juta itu uang tanaman," kata Hartomo.
Saat itu disepakati uang lahan sebesar Rp 3 miliar dibagi untuk tiga keluarga besar Jumirah.
Namun entah apa alasannya, uang Rp 1 miliar belum dibagikan dan dibawa oleh Jumirah.
"Saat itu, ada keluarga Jumirah yang menyampaikan kalau pohon jati yang ukurannya kecil, tapi kok menerima uangnya banyak," kata Hartomo.
"Bahkan paling banyak di Kandangan. Padahal di lahan lain yang pohonnya besar-besar menerimanya tidak sebanyak Jumirah," jelas Hartomo.
Selanjutnya, Hartomo diminta tim untuk melakukan mediasi agar Jumirah bersedia mengembalikan uang kelebihan sebesar Rp 902 juta.
Dia membantah melakukan intimidasi dan hanya berniat untuk mediasi agar uang kelebihan dikembalikan sesuai amanah tim.
"Bahkan saya ditawari uang Rp 50 juta itu tidak mau, karena tugas saya hanya diminta memediasi agar uang negara dikembalikan. Saya tidak minta sepeser pun," tegas Hartomo.
Baca Juga: Sempat Tolak UGR Rp 3,5 Miliar, Rumah Terakhir di Klaten Akhirnya Tergusur Tol Solo-Jogja