“Pengetahuan lalu lintas anak dan remaja biasanya masih kurang dibandingkan orang dewasa. Selain itu kemampuan problem solving juga belum matang. Jadi saat menghadapi masalah di jalan raya, belum tentu dapat menemukan solusi yang tepat, bahkan bisa jadi memilih alternatif yang merugikan diri atau orang lain,” kata Nina.
Selain itu, emosi-sosial, di mana anak-anak dan remaja biasanya masih cenderung labil emosinya.
“Kalau ada yang ngebut, kadang jadi tertantang mengebut, tidak mempertimbangkan apakah aman atau tidak. Selain itu, harusnya kan memang mengendarai kendaraan secara mandiri di jalan raya perlu memiliki SIM. Bila tidak memiliki SIM tapi tetap berkendara, maka sebetulnya melanggar hukum,” ucap Nina.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara secara psikologis anak dan remaja belum boleh berkendara secara mandiri dengan kendaraan listrik atau kendaraan bermotor di jalan raya.
“Kalaupun menggunakan, sebaiknya tidak di jalan raya, atau dengan pendampingan orang dewasa yang bertanggung jawab. Kalau orangtua tidak bisa mendampingi, maka anak perlu dilarang untuk mengendarainya, apapun alasannya,” ujar Nina.
Nina juga berharap segera ada regulasi yang jelas terkait penggunaan sepeda listrik. Misalnya yang boleh mengendarai hanya yang memiliki SIM dan SIM diberikan di atas usia 17 tahun.
“Bila ada regulasi yang jelas, maka orangtua juga punya kekuatan untuk melarang anaknya, karena dengan mengijinkan artinya membuat anak jadi pelanggar hukum,” kata Nina.
Baca Juga: Jangan Ngarep Sepeda Listrik Dapat STNK Apalagi BPKB, Alasan Terkuak