Otomotifnet.com - Ledakan populasi mobil listrik asal Cina di pasar Thailand sedang terjadi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan apakah fenomena serupa bisa menular ke Indonesia.
Lalu apakah pasar otomotif nasional mampu menghadapi serbuan kendaraan listrik Cina?
Pertumbuhan pesat ini tentunya memicu kekhawatiran terkait daya saing industri otomotif lokal.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Republik Indonesia mengawasi fenomena ini dengan cermat.
Langkah ini dilakukan untuk menjaga agar industri otomotif Indonesia tidak terkena dampak negatif, alih-alih terus gencar membuka keran investasi, termasuk pabrikan mobil listrik Cina.
Namun, Kemenperin mengaku sudah menyiapkan langkah-langkah guna meminimalisir dampak negatif, sekaligus tetap menjamin keberlanjutan pemain otomotif lokal yang sudah lama eksis.
Pemerintah berharap transisi ke era kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) dapat berlangsung dengan lancar, tanpa mengganggu stabilitas pasar otomotif nasional.
Jangan sampai kasus di Thailand, yang bermula dari kebijakan Pemerintah dalam memberikan karpet merah bagi investor kendaraan listrik.
Justru berpotensi memberikan dampak kontraproduktif terhadap industri yang sudah terbentuk.
Baca Juga: Cina Kuasai Pasar Mobil Listrik Indonesia, Alarm Nih Buat Pabrikan Jepang
Hal ini ditegaskan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Putu Juli Ardika.
Pihaknya terus memantau semua aktivitas industri di dalam negeri dan regional.
Meski begitu, pihaknya masih enggan berkomentar terkait potensi kejadian serupa terjadi di Tanah Air. “Kami perhatikan dengan baik,” ungkap Putu, yang dilansir Kompas.com (29/7/2024).
Seperti diketahui, berdasarkan berita dari Asia Nikkei, industri otomotif Thailand terpukul oleh derasnya produsen mobil listrik asal Cina.
Serbuan mobil listrik Cina ke pasar Thailand dan global memang secara besar-besaran dalam dua tahun belakangan.
Pemerintah Thailand membebaskan tarif impor dari Cina melalui Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China, dan memberikan insentif tambahan sebesar 150 ribu baht per-unit mobil listrik yang dijual di negeri Gajah Putih.
Baca Juga: Ngeri Kelas Menengah Terus Melorot, Dampaknya Diungkap Pakar Retail
Alhasil, menurut Departemen Cukai Thailand, sejak 2022, sudah ada 185.029 unit mobil listrik impor masuk dari Cina.
Namun mobil yang teregistrasi baru 86.043 unit. Ini menandakan ada kelebihan pasokan sampai 90 ribu unit.
Seperti dijelaskan oleh Ketua Gabungan Industri Kendaraan Listrik Thailand (Electric Vehicle Association of Thailand, EVAT), Krisda Utamote.
“Kami mengalami kelebihan pasokan kendaraan listrik karena banyak kendaraan listrik yang diimpor dari China selama dua tahun terakhir (masih berada di persediaan dealer),” ucap Krisda.
Kondisi tersebut membuat para produsen mobil listrik Cina menerapkan strategi perang harga, supaya menghabiskan produk yang sudah terlanjur masuk.
Produsen mobil BYD, adalah yang paling agresif. BYD memangkas harga Atto sebanyak 340 ribu Baht, atau sekitar Rp 150 juta. Setara diskon 37 persen dari harga peluncuran awal.
Langkah serupa diikuti Neta yang memangkas harga model V-II sebesar 50 ribu Baht (Rp 22 juta), atau sembilan persen dari 549 ribu Baht (setara Rp 248 jutaan) saat kali pertama diluncurkan.
Baca Juga: Terungkap, Insentif PPnBM dan Pajak Hybrid Punya Manfaat Gede Buat Ini
Kondisi tersebut, berdampak pada ekonomi Thailand, yang tengah bergeliat bangkit pasca-pandemi Covid-19 serta tekanan terhadap perdagangannya.
Alhasil, produk kendaraan konvensional yang sudah diproduksi secara lokal di Thailand tak laku dipasaran.
Melansir data Federasi Industri Thailand, penjualan mobil baru pada lima bulan pertama hanya 260.365 unit, turun 23 persen dari periode sama tahun lalu.
Angka tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade.
Akibatnya, produsen mobil ICE di Thailand mengurangi kapasitas produksi untuk bertahan hidup.