Shizuoka - Kami masih ingat ketika pertama melihat kali melihat Mirai di GIIAS (Gaikindo Indonesia International Auto Show) 2015. Sempat OTOMOTIFNET.COM tak acuh, mengetahui kami tidak akan pernah mencobanya di Indonesia. Mengapa?
Pertama, bentuk dari namanya yang literally diambil dari kata "Masa Depan" itu benar-benar terlihat seperti mobil yang datang dari tahun 2025. Kedua, Mirai ditenagai oleh hidrogen. Tahu dimana tempat mengisi bahan bakarnya di Indonesia?
Yup, benar, tidak ada.
Bentuk eksentrik, teknologi mutakhir serta tidak adanya infrastruktur hidrogen terkompresi di Indonesia hanya membuat kami terangan-angan, kapan bisa mencoba versi produksi dari Toyota FCV Concept ini.
Untungnya, just like wishing on a wishing star, permintaan kami terkabul ketika Toyota Motors Asia Pacific (TMAP) mengundang kami untuk memperlihatkan program kampanye safety dan environment-nya di Jepang. Seperti yang anda tebak pun, kami juga diajak untuk mencicipi apa yang dijanjikan sebagai masa depan otomotif ini.
Harus kami akui, mayoritas orang akan terimpresi bagaimana bentuk Mirai terksesan sangat ke-'masa depan'-an. Tidak salah, memang. Namun tidak lepas dari desain sang head-turner ini yang justru sering kali mengundang debat, katakan saja kami lebih senang bila wajah timeless Toyota seperti Corolla Altis dan Yaris dahulu dikembalikan.
Oh paling tidak, bentuk sangat mencolok dan penuh lekukan super-tajam ini baik untuk aerodinamika kan? Bila Prius generasi keempat saja bisa terlihat sedikit lebih normal dengan koefisien drag fantastis 0,24, mengapa nilai cd 0,29 pada Mirai harus terlihat full of drama seperti itu?
Ketika menapak ke dalam kabinnya, kembali kami temui desain out of the world seperti pada eksterior.
Kami bukannya terkejut karena itu, justru berlebihnya bahan berkualitas tinggi seperti material leather-padded yang ditemui di setiap bagian terlihat, jarang untuk Toyota yang dipasarkan di dalam negeri.
Namun mendengar harganya yang luar biasa tinggi, bahkan masih lebih mahal setelah disubsidi dibanding varian tengah Crown Athlete, sedan ultra-mewah Toyota, hal di atas seakan langsung terdengar wajar.
Pengaturan jok dan setir untungnya komplit, full elektrik dan dengan auto recall saat dinyalakan, sedagkan tempat memory seat cukup aneh di dekat cup holder door trim.
Sayang, posisi duduk setelah diatur paling rendah pun masih tergolong tinggi. Hal ini karena pengemudi dan penumpang depan harus duduk di atas fuel cell stack yang nantinya akan menyuplai listrik ke motor.
Seperti ‘green cars’ Toyota lainnya, menyalakan mesin, atau bisa dikatakan mengaktifkan sistem elektronik mobil cukup tekan tombol biru di kanan setir. Seperti semua mobil listrik pun, hanya layar-layar yang menyala, tanpa adanya suara bensin dan udara terkompresi yang meledak-ledak khas mobil konvensional.
Seperti Prius, memindahkan tuas transmisi ekstra-kecil terasa seperti seharusnya dilakukan oleh tangan balita. Mobil langsung glides-in ala seamless drive, sama sekali tanpa suara.
Ketika berakselerasi dengan halus seperti ini, motor listrik bertenaga 152 dk di depan hanya digerakkan oleh baterai di belakang.
Kami suka rasanya. Seperti menonton film kartun di masa lampau ketika menunjukkan masa depan dengan suara mobil tenang yang hanya diikuti sedikit siulan motor listrik.
Keunggulan yang beda dengan hybrid, yang mesin bensinnya akan take over ketika pedal gas diinjak lebih dalam, Mirai hanya akan melaju instan dan sunyi dengan motor listrik tersebut dalam mode selalu EV-nya.
Berhubung ada di trek “Short Circuit” di Fuji Speedway, Jepang, tenaga hanya 152 dk pun tidak jadi alasan mengapa Mirai tidak kami uji seperti RC300h yang baru saja kami tes.
Saat mengambil racing line ketika menikung, cukup mengejutkan body roll sangat sedikit untuk mobil yang terlihat seperti over-charismatic hatchback, meski feeling setir yang tidak terlalu ringan terasa sintetik.
Tidak sabar ingin merasakan keunggulan torsi instan, tikungan selanjutnya coba kami kickdown pedal gas.
Well, what do you know? Ban depan seketika spin seketika dan dihentikan oleh VSC (Vehicle Stability Control), membuktikan betapa dashyatnya ooomph dari motor listrik ketika dibutuhkan.
Ketika berakselerasi cepat, fuel cell stack menggantikan kerja baterai untuk mentenagai motor.
Berbicara cepat, mencapai angka 90 km/jam dari 30 km/jam terasa sangat fantastis meski belum bisa kami ukur, seakan mobil ini lebih kuat dari yang seharusnya. Sayang, setelah itu tenaganya seperti habis, khas mobil listrik.
Catatan kecil, beda dengan Tesla Model S yang pernah kami coba, suara ketika berakselerasi penuh justru bukan seperti motor berputar kencang, justru sedikit terasa ingin menirukan suara mobil konvensional, namun terdengar cenderung aneh.
Dengan masih adanya kekurangan-kekurangan di atas, apakah Mirai pantas memegang price tag 5 juta Yen setelah subsidi?
Ketika kelangsungan dunia lah yang jadi faktor pertimbangan, klaim jarak tempuh 650 km dan waktu pengisian ulang bahan bakar layaknya mesin bensin konvensional, we say the future is already here.
Editor | : | Fransiscus Rosano |
KOMENTAR