"Solusi yang lain jika tidak mau menaikkan adalah pembatasan penggunaan BBM subsidi," ujarnya, saat dihubungi (22/8/2022).
Menurut dia, pembatasan bisa dilakukan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
"Tinggal sejauh mana pemerintah tegas dan ketat dalam memberlakukan kriteria penerima manfaat, seperti apa jenis kendaraan dan orang yang berhaknya. Ini yang kita tunggu-tunggu, ketegasan pemerintah," tuturnya.
Mamit menyatakan, jika pemerintah tetap menaikkan BBM subsidi, tetap harus dilakukan pembatasan.
Hal itu untuk mengantisipasi jika pada 2023 ada perubahan harga.
Kenaikan Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter diprediksi akan mengerek inflasi sebesar 1 persen.
Beban keuangan negara dinilai sangat berat terkait dengan beban subsidi dan kompensasi yang harus dibayarkan kepada badan usaha.
Karena itu, subsidi harus tepat sasaran kepada yang berhak.
"Seharusnya subsidi bisa dialihkan secara langsung kepada masyarakat miskin dan sektor lain yang membutuhkan, seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya," terang Mamit.
Ia berujar, penyesuaian harga BBM subsidi dapat mengurangi disparitas harga antara BBM subsidi dan non-subsidi.
Selain itu, subsidi BBM sebaiknya tetap harus diatur penggunaannya dan ditujukan untuk masyarakat yang berhak.
"Namun, kenaikan ini bisa memberikan dampak sosial di masyarakat yang berakibat bisa terganggunya iklim investasi di Indonesia. Aksi penolakan saya kira akan banyak dilakukan oleh elemen masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah bisa mengendalikan dari dampak sosial tersebut," kata Mamit.
Baca Juga: Warga Nusa Penida Dibuat Jengkel, Ada yang Beli BBM Pakai Puluhan Jeriken
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR