Sehingga, tanah itupun pun dijual dengan harga miring oleh pemiliknya
"Karena kan tanah ini, dulu dibeli pasca erupsi Gunung Merapi, orang-orang kan pada putus asa, di situ saya ditawari. Harganya cocok dengan saya, saya pun membelinya," tutur dia.
Saat memutuskan untuk membeli tanah itu, kata Habib, dirinya sempat mendapatkan cibiran segelintir orang.
Sebab, memilih tanah yang tidak subur dan berbatu. Ditambah, posisi tanah yang tidak strategis berada di pinggir Kali Blongkeng.
"Saya sampai pada saat itu dicemooh (karena) membeli tanah itu. Namun kan, mikirnya untuk investasi masa depan. Karena, saat itu saya adalah pegawai swasta (sebagai) wartawan yang tidak punya uang pensiunan," ucapnya.
"Jadi, jika saya pikir ketika saya selesai jadi wartawan, saya bercita-cita akan bertani, jadi saya memutuskan beli tanah itu. Namun Tuhan punya kehendak lain, saat ini saya masih dikasih tanggung jawab menjabat sebagai Ketua Bawaslu Kabupaten Magelang," terangnya.
Lanjut dia, tanah yang dibelinya dimulai dari ukuran yang kecil-kecil, jadi tidak sekaligus.
Dibelinya disesuaikan dengan kemampuan keuangannya saat itu.
"Iya membelinya yang kecil-kecil semampunya saya, yang orang-orang gak mau beli. Karena kondisinya dipinggir, kurang subur, banyak batunya," bebernya.
"Meski begitu, saat ini tanah itu sudah ada yang saya tanami ada sengon, ada yang saya tanami padi dan jagung juga," ungkapnya.
Sementara itu, dia mengatakan, hasil pembayaran UGR tetap akan dikembalikan ke bentuk tanah.
"Tetap beli tanah lagi, dan sama deposito. Tetap sesuai cita-cita awal saya, yang ingin (jika pensiun) bertani," urainya.
Baca Juga: Selisih 3 Tahun, Lahan di Bawah Rp 10 Miliar Laku Dibayar Tol Jogja-Bawen Rp 22 Miliar
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR