"Hal-hal tersebut sah-sah saja dilakukan selama tidak miss communication," sambung Sony.
Sementara di Indonesia, memiliki beragam budaya masyarakat yang tidak seragam dalam berkomunikasi.
Sehingga, adanya perbedaan budaya bisa membuat bingung jika menyalakan lampu hazard untuk ucapan terima kasih.
"Mereka belum paham dasar-dasar keselamatan, jadi tidak tahu mana yang benar. Nah, pastinya terjadi miss communication atau asal dalam membangun komunikasi," sebutnya.
"Contoh, di perempatan mau lurus nyala lampu hazard dan lain-lain," kata Sony.
"Jadi benar dulu dalam memahami aturan keselamatan dan mengoperasionalkan kendaraan maka otomatis kulturnya terbentuk," lanjutnya.
Penggunaan lampu hazard tidak dijelaskan secara detail pada Undang-Undang (UU), namun lampu ini cukup untuk menjadi isyarat bagi pengemudi lain bahwa ada kendaraan yang terpaksa berhenti atau melakukan perlambatan kecepatan secara tiba-tiba.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), Pasal 121 ayat 1 menjelaskan tentang fungsi lampu hazard pada kendaraan bermotor.
"Setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau parkir dalam keadaan darurat di jalan".
Baca Juga: Hidupkan Hazard Saat Hujan Jadi Kontroversi, Kasatlantas Semarang: Boleh Tapi Ada Syaratnya
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR