Fenomena Nissan Cefiro: Mendadak Jadi Primadona (bag-1)
‘Harga’ Norman mendadak melejit, dari meledaknya rating video di internet, dikejar-kejar TV, surat kabar sampai tawaran beasiswa dan jadi duta polisi.
Begitu pula yang terjadi pada Nissan Cefiro. Sedan yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990an ini sampai sekitar 2 tahun yang lalu bisa bisa dibilang terpinggirkan. Hanya dikenal kalangan pehobi, dihargai belasan juta rupiah, sampai teronggok di bengkel atau garasi.
“Dua tahun yang lalu masih bisa dapat dengan harga di bawah Rp 15 juta. Sekarang sampai Rp 25 juta, ada yang bisa sampai Rp 40 juta. Naiknya lumayan pesat, bisa sampai 2 kali lipat,” kata Amin Budiyono, dari Nissan Datsun Club Indonesia, komunitas Nissan lawas yang warganya memiliki sekitar 30 unit Cefiro.
Tapi begitu demam drifting melanda tanah air, nasib Cefiro berubah drastis. Ibarat Upik Abu yang mendadak jadi primadona. Laris bak kacang goreng, sampai ‘hilang’ dari pasaran.
“Naik daunnya memang gara-gara ada drifting ini. Dulu sih enggak dilirik. Sekarang cari bahan yang bagus juga jarang. Karena jarang orang yang mau jual,” tambah pemilik bengkel Oto Teknik, Mampang, Jaksel ini.
Kenapa bisa begitu? Seberapa istimewanya sih Cefiro ini?
Fenomena Nissan Cefiro: Mendadak Jadi Primadona (bag-1)
Cefiro pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar 1990-1991. Sedan Jepang ini dibawa ke Tanah Air dengan target segmen premium.
“Sebagai kompetitor Honda Accord dan Toyota Corona, kita berkompetisi di situ,” kata Teddy Irawan, vice president sales and marketing PT Nissan Motor Indonsia yang pada masa itu masih bertugas di bagian after sales.
Waktu diperkenalkan, Cefiro yang dibekali aneka fitur canggih tersebut dijual dengan harga cukup tinggi, Rp 80-90 juta.
Waktu diperkenalkan, Cefiro yang dibekali aneka fitur canggih tersebut dijual dengan harga cukup tinggi, Rp 80-90 juta.
“Memang jadinya agak terlalu cepat waktu itu kita memperkenalkan teknologi seperti itu,” ujar Teddy sambil menyebut di awal peluncurannya Nissan menjual antara 40-60 unit Cefiro tiap bulannya.
Pada masa itu, fitur Cefiro memang di atas rata-rata. Mobil tersebut dilengkapi sejumlah fitur yang tidak ada di mobil-mobil angkatan 90an awal lainnya. Bisa dibilang mobil yang keluarnya prematur. Teknologinya terlalu canggih untuk zaman itu. Seperti double shockbreaker dengan oli dan angin, ada sensor sonar.
"Jadi kayak di kapal selam. Kalau jalannya terlalu bumpy, mobil lompatnya terlalu tinggi, shockbreaker akan mengatur sendiri daya redamnya,” kata Amin.
“Jadi mobil lain masih pakai lampu proyektor biasa, Cefiro sudah pakai projector head lamp. Lalu suspensi dan spooring-nya yang dikontrol dengan komputer, jadi langsung terhubung dengan steering dan secara otomatis diatur kekerasannya,” imbuh Teddy.
Secara teknis kecanggihan ini sebenarnya tidak jadi masalah. Nissan yang memperkenalkan Cefiro telah siap mengatasi problem yang mungkin muncul. “Di after sales-nya, secara teknologi sebetulnya enggak susah.
Tapi memang harus ke bengkel resmi. Waktu itu bengkel umum belum terbiasa dengan teknologi seperti itu,” kata pria yang juga tengah membangun Cefiro dengan mesin Skyline, RB25DET ini.
Tapi kecanggihan dan kesiapan tim teknis Nissan, tidak sanggup mengatasi penurunan popularitas Cefiro. Apalagi kalau dibandingkan dengan pamornya di sejumlah negara tetangga.
“Dibanding Thailand, Malaysia atau Singapura, jauh. Pertama, mereka memang sedan market. Di sini, orang kenal, tahu kalau itu mobilnya bagus, enak. Tapi ya hanya sekadar sekadar tahu,” bilang kelahiran Purwokerto, Jateng tersebut.
Peminat Cefiro sangat segmented. “Yang kenal biasanya orang-orang yang sering ke luar negeri dan tahu popularitas Cefiro di luar. Banyak konsumen yang memang beli karena mobilnya bagus. Tapi orang kebanyakan mau beli memang berpikir lagi, after sales dan resale value,” papar lulusan South Seattle Community College Automotive Mechanic, Amerika Serikat tersebut.
“Sebelum drifting ramai, Cefiro memang belum populer di sini. Tapi yang punya yang dulunya sekolah di Australia dan Amerika, mereka udah tahu duluan bagaimana reputasi Cefiro ini. Selama ini ada yang pakai jadi kelangenan aja, dirapikan orisinal, ada juga yang alirannya balap. Karena membangun Cefiro kan itungannya enggak susah. Di bengkel sekarang ada beberapa sedang dibangun untuk balap,” sahut Amin.
Sekarang, Cefiro masik eksis dalam wujud generasi terbarunya, Teana. Sebagai sedan premium, bandrolnya masih terhitung tinggi. “Bersaingnya dengan Camry. Kalau mobil generasi sekarang, dijual ya kisarannya Rp 500an juta juga. Di pasaran saat ini, jualannya kurang lebih sama kok, 40-60 unit per bulan,” ujar Teddy. (mobil.otomotifnet.com)
Pada masa itu, fitur Cefiro memang di atas rata-rata. Mobil tersebut dilengkapi sejumlah fitur yang tidak ada di mobil-mobil angkatan 90an awal lainnya. Bisa dibilang mobil yang keluarnya prematur. Teknologinya terlalu canggih untuk zaman itu. Seperti double shockbreaker dengan oli dan angin, ada sensor sonar.
"Jadi kayak di kapal selam. Kalau jalannya terlalu bumpy, mobil lompatnya terlalu tinggi, shockbreaker akan mengatur sendiri daya redamnya,” kata Amin.
“Jadi mobil lain masih pakai lampu proyektor biasa, Cefiro sudah pakai projector head lamp. Lalu suspensi dan spooring-nya yang dikontrol dengan komputer, jadi langsung terhubung dengan steering dan secara otomatis diatur kekerasannya,” imbuh Teddy.
Secara teknis kecanggihan ini sebenarnya tidak jadi masalah. Nissan yang memperkenalkan Cefiro telah siap mengatasi problem yang mungkin muncul. “Di after sales-nya, secara teknologi sebetulnya enggak susah.
Tapi memang harus ke bengkel resmi. Waktu itu bengkel umum belum terbiasa dengan teknologi seperti itu,” kata pria yang juga tengah membangun Cefiro dengan mesin Skyline, RB25DET ini.
Tapi kecanggihan dan kesiapan tim teknis Nissan, tidak sanggup mengatasi penurunan popularitas Cefiro. Apalagi kalau dibandingkan dengan pamornya di sejumlah negara tetangga.
“Dibanding Thailand, Malaysia atau Singapura, jauh. Pertama, mereka memang sedan market. Di sini, orang kenal, tahu kalau itu mobilnya bagus, enak. Tapi ya hanya sekadar sekadar tahu,” bilang kelahiran Purwokerto, Jateng tersebut.
Peminat Cefiro sangat segmented. “Yang kenal biasanya orang-orang yang sering ke luar negeri dan tahu popularitas Cefiro di luar. Banyak konsumen yang memang beli karena mobilnya bagus. Tapi orang kebanyakan mau beli memang berpikir lagi, after sales dan resale value,” papar lulusan South Seattle Community College Automotive Mechanic, Amerika Serikat tersebut.
“Sebelum drifting ramai, Cefiro memang belum populer di sini. Tapi yang punya yang dulunya sekolah di Australia dan Amerika, mereka udah tahu duluan bagaimana reputasi Cefiro ini. Selama ini ada yang pakai jadi kelangenan aja, dirapikan orisinal, ada juga yang alirannya balap. Karena membangun Cefiro kan itungannya enggak susah. Di bengkel sekarang ada beberapa sedang dibangun untuk balap,” sahut Amin.
Sekarang, Cefiro masik eksis dalam wujud generasi terbarunya, Teana. Sebagai sedan premium, bandrolnya masih terhitung tinggi. “Bersaingnya dengan Camry. Kalau mobil generasi sekarang, dijual ya kisarannya Rp 500an juta juga. Di pasaran saat ini, jualannya kurang lebih sama kok, 40-60 unit per bulan,” ujar Teddy. (mobil.otomotifnet.com)