“Toyota berdiri 1971 dan punya pabrik tahun 1973. Kemudian kawin (antara pabrik perakitan, bodi dan mesin) 1989. Cerai tahun 2003. Hal yang paling sulit adalah meyakinkan Indonesia layak investasi. Kita mau turun dan bicara ke manajer pabrik di Jepang, orang pabrik enggak tahu Indonesia. Tahunya Amerika, Eropa dan kalau Asia tahunya hanya Thailand,” papar Johnny.
“Akhirnya tahun 2004 mulai dilihat. Kita ditantang masuk klub 100.000 unit, kita masuk. Mencapai 30 persen, kita masuk, masuk 10 besar Toyota dunia, kita masuk. Akhirnya apa lagi yang mau dichallenge ke kita? Kita pernah mencapai 39,9 persen tahun 2009 atau 2010,” lanjut pria yang menjual 2,7 juta unit mobil selama kariernya.
Toyota Sembunyikan Desainer
Salah satu yang mungkin terwujud jika Indonesia jadi basis produksi adalah munculnya karya desainer Indonesia.
Bahkan peranti dan teknologi desain tercanggih ada di tanah air. Namun soal munculnya desainer Indonesia justru akan tertutupi.
“Dengan dibukanya Indonesia sebagai hub, kemungkinan ada RnD dan desain di sini. Tetapi desainer kita umpetin nama dan wajahnya, takut di-hijack,” seloroh Bob Azam.
Namun alasan lainnya bersangkutan dengan filosofi Toyota di mana pemimpin pun akan tampil low profile.
“Di Jepang, dipilih jadi CEO terbaik pun dia akan mengaku sebagai orang produksi,” ulas Johnny.
Kamuflase Kuliner Di Balik Dealer Visit
Salah satu fungsi penting yang dijalankan adalah kontrol. Menurut Johnny, dealer visit jangan terlihat sengaja atau by design.