Jakarta-Setir terkesan hanya sekadar lingkaran yang menghubungkan pengemudi dengan jalanan.
Namun sistem yang bekerja di belakangnya bisa dibilang cukup rumit.
Buktinya, teknologinya terus berkembang hingga kini ada power steering atau bahkan steer by wire.
Teknologi pelengkap setir diciptakan untuk semakin memudahkan sekaligus mengamankan.
Collapsible steering misalnya, dibuat agar pengemudi tidak tertusuk kolom setir ketika tabrakan.
Sedangkan electric power steering, penunjang efisiensi yang membuat nyetir semakin effortless.
Kenalan satu per satu dengan mereka lagi yuk.
Tilt & Telescopic
Pernah dianggap sebagai fitur mewah dahulu kala, kini jadi fitur yang makin bertebaran di berbagai macam mobil modern.
Tujuan utamanya, tentu untuk memberikan posisi mengemudi yang pas.
Karena idealnya tidak bisa didapatkan hanya dari pengaturan jok.
Meski tilt steering sudah ditemukan di awal 1900-an, hingga kini masih ada yang belum menerapkan, contoh Great New Daihatsu Xenia varian X, Suzuki Splash dan Toyota Rush.
Fungsi tilt adalah mengatur posisi setir naik dan turun, dapat dilakukan dengan membuka tuas pengunci di bawah setir.
Untuk telescopic steering, masih cukup jarang ditemukan di mobil low budget.
Fungsinya adalah mengatur posisi setir untuk dapat maju-mundur dengan jarak maksimal 3 inci.
Di Indonesia, yang menggunakan seperti Honda Jazz, Mitsubishi Outlander Sport dan All New Toyota Kijang Innova.
Namun untuk mobil dengan kelas lebih tinggi, contoh Mercedes-Benz S-Class dan Jaguar XE, memiliki adjustable steering column.
Alih-alih menggunakan engsel dengan pengunci, kolom setir dapat diatur posisinya secara elektrik via motor listrik.
Bahkan dapat naik dan masuk sendiri untuk memudahkan proses keluar masuk pengemudi ketika mematikan mesin.
Tipe
Paling terkenal adalah sistem rack and pinion, jenis setir lain juga sempat banyak digunakan di masa lalu.
Salah satu yang paling populer adalah recirculating ball.
Ada jenis lama namanya Gearbox Recirculating Ball & Nut, sistem kerjanya menggunakan link-link untuk membelokan roda dari girboks.
Jenis setir seperti ini digunakan di mobil seperti Suzuki Carry ataupun Katana.
Desain yang cenderung rumit dan kurang sensitif membuat sistem ini kurang disenangi di masa kini.
Hanya saja, recirculating ball memiliki kelebihan berupa getaran dari roda yang tidak langsung terasa di setir, karena diredam oleh link-link-nya.
Selanjutnya adalah jenis rack and pinion.
Karena desainnya yang lebih sederhana dan sambungan langsung dari setir ke as roda, membuatnya memberikan feedback yang jauh lebih baik.
Gerak putar dari pinion diubah jadi gerak datar ke samping, sehingga sudut belok sensitif, tajam dan ringan.
Collapsible Steering Wheel
Untuk istilah yang satu ini, urusannya dengan steering column.
Fungsi utamanya sebagai perangkat pendukung keselamatan berkendara.
Cara kerjanya hanya bisa dilihat saat terjadi tabrakan frontal.
Dimana saat terjadi tabrakan, kemudi akan bereaksi yang membuat badan pengemudi enggak langsung menghantamnya.
Ada 3 tipe collabsible steering, pertama tipe Mesh.
Ada plastic pin dan kapsul yang menyambungkan bagian atas dan baawh sistem kemudi.
Bila terjadi tabrakan yang keras, maka plastik pin pada main shaft akan hancur sehingga main shaft bagian atas akan turun ke bawah, agar bersentuhan dengan main shaft bagian bawah. Alhasil benturan antara tubuh pengemudi dengan roda kemudi dapat dieliminir.
Berikutnya Ball type, column steering bagian atas dan bawah yang disambung ball bearing.
Serta main shaft bagian atas dan bawah yang sengaja dipisah akan disambungkan dengan plastik pin.
Apabila terjadi benturan yang keras yang membuat gear box steering mendapat tekanan yang kuat.
Maka plastik pin akan akan hancur dan membuat tenaga akibat benturan akan diserap oleh bola bearing yang dipasang antara lower tube dan upper tube.
Pada tipe Solid Silicone Rubber Sealed, main shaft tetap terdiri dari dua bagian atas dan bawah yang disambung dengan plastik pin.
Pada bagian dalam bawah main shaft diisi dengan silicon rubber dan bracket-nya dipasangkan caster wedge.
Ketika terjadi tabrakan, bracket akan segera runtuh dan main shaft akan segera menyusut.
Dengan menurunnya main shaft, maka silicone rubber akan keluar berupa tepung.
Power Steering Hidrolis
Sistem hidrolis pada power steering, diidentikkan kendaraan model lama.
Tapi kendaraan keluaran terbaru seperti Mitsubishi Mitsubishi Pajero Sport dan Toyota Fortuner, menggunakan power steering hidrolis.
Namun memang power steering hidrolis menggunakan sistem konvensional yang kerjanya menggunakan oli.
Selain itu, sistem kerjanya juga membebani mesin.
Jadi tekanan yang dibutuhkan untuk mengarahkan bantuan tenaga kemudi, dihasilkan oleh pompa hidrolik.
Pompa ini digerakkan oleh mesin.
Ada kekurangan, pastinya juga terdapat kelebihan.
Salah satu yang selalu jadi andalan sistem ini adalah ketika terjadi kerusakan.
Perbaikan hanya pada bagian yang rusak saja.
Misalnya bila pompanya yang bermasalah, maka bagian itu saja yang diservis atau ganti.
Dalam kondisi pemakaian normal plus perawatan rutin, umur pakainya bisa mencapai 10 tahun.
Bila terabaikan untuk urusan perawatan, maka umur pakainya bisa hanya mencapai 3 tahun saja.
Power Steering Eelektrik (EPS)
Sebenarnya pemakaian EPS itu tadinya bertujuan untuk efisiensi, karena tidak adanya pompa, tabung reservoir, slang dan cairan hidrolis.
Sehingga mengurangi bobot kendaraan dan juga beban putaran mesin.
Dengan menempatkan motor listrik di rack atau kolom setir, sebuah modul khusus berfungsi sebagai sensor untuk mendeteksi putaran dari setir sebagai input untuk memberikan feedback, membuat terasa lebih ringan atau lebih berat tergantung input.
Banyak yang beranggapan ada keuntungan sistem ini, bebas perawatan.
Itu karena tidak membutuhkan penggantian oli seperti tipe hidrolis.
Walaupun namanya tetap perlu untuk merawat sistem elektrik kendaraan seperti accu dan pemakaian fuse yang tepat agar tidak terjadi short circuit.
Adapun EPS juga merevolusi sistem speed-sensitive power steering yang dulu dianut dengan variabel resistance. Menggunakan mode berkendara tertentu, pengemudi dapat memilih seberapa berat putaran setir yang diinginkan.
Misalnya, Servotronic pada BMW atau DSSM (Driver Steering Select Mode) pada Hyundai, yang mengubah setir jadi ringan pada mode Comfort dan lebih berat untuk feedback lebih baik di mode Sport.
Hingga kini, kendala terbesar untuk EPS adalah koneksi antar pengemudi dan jalan yang dirasakan tidak sealami power steering sistem hidrolis.
Electro-Hydraulic Power Steering
Sistem ini juga dikenal dengan Semi Electronic Power Steering atau juga Motor Drive Power Steering.
Ini merupakan pengembangan dari sistem konvensional.
Nissan jadi pengembang pertama sistem hybrid tersebut. Dikembangkan pada Nissan Fuga pada 2011 silam, untuk kenyamanan dan efisiensi bahan bakar.
Komponen yang ada dalam sistem ini sama dengan power steering konvensional (hidrolis).
Hanya saja sistem kerjanya enggak langsung ikut putaran mesin.
Ada tambahan solenoid valve pada power steering gear box dan satu kontrol unit.
Solenoid berfungsi untuk mengontrol aliran oli pada steering gear box, yang kerjanya berdasarkan arus dari control module yang menerima sinyal dari VSS (Vehicle Speed Sensor) dan TPS.
Sinyal yang dikirim untuk kebutuhan sistem ini sangat presisi.
Sehingga pengemudi akan merasakan kenyamanan berkendara dan juga handling-nya.
Steer By Wire
Steer by wire memiliki tujuan menghilangkan koneksi mekanikal dari setir ke as roda.
Prinsipnya adalah setir tidak terhubung langsung seperti sistem mekanis.
Infiniti Q50 terbaru sudah menggunakan sistem seperti ini, sedangkan yang di Indonesia belum pakai.
Terinspirasi dari pesawat, Infiniti menyebut teknologi ini Direct Adaptive Steering.
Dibanding setir mekanikal, steer by wire memiliki keuntungan seperti respon setir yang lebih cepat dan presisi. Selain itu bisa mengeliminasi getaran dari jalan ke setir, mengurangi biaya perawatan.
Karena desain lebih ringan itulah yang kemudian jadi cikal bakal autopilot.
Cara kerjanya, memutar setir akan mengirimkan sinyal ke steering force actuator, yang kemudian diubah jadi data dan dikirimkan ke ECU.
Dari situ, data diolah dan dikirim kembali sebagai sinyal ke steering angle actuator yang akan membelokkan setir.
Hingga kini, respon pasar terhadap sistem ini adalah rasa fun dan koneksi pengemudi terhadap jalan yang berkurang dibanding sistem setir mekanikal.
Do & Don’t
Umur pakai power steering bisa cukup lama, ketika pengguna kendaraan memberlakukannya enggak berlebihan dan melakukan perawatan secara rutin.
Ketika berbelok, enggak memutar kemudi sampai mentok.
Karena itu akan membuat kerja pompa power steering makin berat.
Selain itu, saat parkir selalu kondisikan ban dalam posisi lurus.
Ini untuk menghindari pompa power steering langsung bekerja keras, ketika mesin dinyalakan.
Untuk perawatan, wajib melakukan ganti oli setahun sekali.
Oli yang bersirkulasi, lama kelamaan akan mengalami penurunan fungsi.
Masalah Umum
Pada umumnya kerusakan pada power steering, terjadi akibat dari beberapa hal.
Seperti umur pakai dan ini biasanya terlihat pada komponen sil rack steer.
Rembesan oli jadi penanda kerusakan pada bagian ini.
Selain itu, ada suara mendengung saat kemudi diputar.
Boot rack steer yang berbahan karet, juga rentan rusak.
Itu akibat sering dipakai melibas jalanan rusak, komponen tersebut akirnya sobek.
Jangan dibiarkan saja, kalau ingin as setir tetap mulus tanpa karat.
Listrik sangat alergi pada air dan oleh karenanya, EPS malfunction biasanya akibat terkena air.
Kalau sampai seperti ini, maka jangan heran kalau semua peranti EPS harus diganti baru.
Beda dengan sistem konvensional yang hanya melakukan penggantian pada bagian yang rusak saja.