“Nah, masing-masing bahan bakar itu tentunya punya takaran additive yang berbeda-beda,” ungkapnya.
Misalnya suatu bahan bakar kandungannya punya potensi menghasilkan deposit banyak, “Maka additive detergen‑nya biasanya banyak juga.”
“Sebaliknya bila unsur-unsur penimbul depositnya sedikit, maka additive detergen-nya juga akan sedikit,” tukas Prof. Yus.
Memang merek-merek bahan bakar yang ada di Indonesia secara komposisi kimia kata Prof. Yus sudah memenuhi spesifikasi (yang ditentukan, red) Ditjen Migas.
“Tapi belum tentu sama persis kan. Kenapa? Karena di Ditjen Migas batasannya adalah kadang minimum, kadang maksimum, atau kadang minimum – maksimum, jadi secara rentang,” ucapnya lagi.
“Misal batas emisinya 500 ppm, artinya boleh 300, 200 atau bahkan 0, yang penting memenuhi aturan batas maksimum tadi,” imbuhnya.
Sehingga akhirnya pencampuran additive tiap-tiap merek atau jenis bahan bakar akan berbeda-beda.
“Kalau kita ganti-ganti bahan bakar, otomatis kan mesinnya akan berganti-ganti karakter operasinya juga dalam hal pembakaran,”