"Jika akhirnya masyarakat tetap bawa kendaraan pribadi, titik macetnya hanya akan pindah ke jalan yang tidak berbayar," lanjutnya.
Karena itu, Anggara mendorong agar Pemprov DKI menggunakan pendapatan dari ERP dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan layanan transportasi umum.
Anggara mencontohkan, pendapatan dari ERP itu bisa dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan LRT serta menambah rute dan armada bus TransJakarta.
Lebih lanjut, menurut Anggara, tujuan dari kebijakan jalan berbayar, pada dasarnya adalah pengurangan moda transportasi pribadi.
"Visinya kan jadi disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi agar mereka berpikir dua kali untuk naik motor atau mobil karena harus keluar biaya lebih," kata Anggara.
"Kami berharap mereka berpindah ke transportasi publik agar kemacetan berkurang. Maka kita harus benahi angkutan umum kita agar lebih nyaman dan terintegrasi," ujarnya.
Berkaitan dengan tarif, Dishub DKI Jakarta telah mengusulkan besarannya berkisar antara Rp 5.000 sampai Rp 19.900 untuk sekali melintas.
Dalam Raperda PPLE dijelaskan kebijakan ini merupakan pembatasan kendaraan bermotor secara elektronik pada ruas jalan, kawasan dan waktu tertentu.
Merujuk draf tersebut, ERP bakal dilaksanakan di 25 ruas-ruas jalan atau kawasan yang memenuhi kriteria.
Setidaknya ada empat kriteria untuk sebuah kawasan atau ruas jalan bisa menerapkan ERP.
Pertama, memiliki tingkat kepadatan atau perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,7 pada jam puncak atau sibuk.
Kedua, memiliki dua jalur jalan dan setiap jalur memiliki paling sedikit dua lajur.
Ketiga, hanya dapat dilalui kendaraan bermotor dengan kecepatan rata-rata kurang dari 30 km/jam pada jam puncak.
Baca Juga: Lumayan Juga, Keuntungan Jalan Berbayar di Jakarta Tembus Rp 60 M Per Hari