Bisnis Pertashop Tak Seindah Janji Manis, Bertahan Terus Merugi Ditutup Sia-sia

Irsyaad W - Senin, 9 Oktober 2023 | 10:30 WIB

Foto ilustrasi Pertashop. Harga Pertalite dan Pertamax selisih Rp 4 ribuan per liter, pemilik Pertashop bilang begini. (Irsyaad W - )

Otomotifnet.com - Bisnis Pertashop tak seindah janji manis.

Usaha mereka sudah di ujung tanduk setelah harga Pertamax naik per 1 Oktober 2023.

Dari sebelumnya Rp 13.300 per liter, kini melambung jadi Rp 14.000 per liter.

Kenaikkan harga tersebut membuat pengusaha Pertashop semakin terpuruk.

Pasalnya disparitas harga dengan Pertalite semakin jauh.

Pengusaha Pertashop, Dwi Eko Susanto mengatakan konsumsi Pertamax di Pertashop yang ia kelola semakin turun.

Saat ini konsumsi Pertamax hanya sekitar 100 liter per hari. Berbeda dengan awal ia membuka Pertashop yang bisa menembus 1.000 liter per hari.

"Saya buka Pertashop ini karena dulu digembar-gemborkan menjadi bisnis yang menguntungkan masyarakat di daerah," cerita Eko, (6/10/23) dilansir dari TribunJogja.com.

"Saya buka tahun 2021, tiga bulan awal memang untung, waktu harganya Rp 12.500, selisih dengan Pertalite tidak banyak. Sehingga masyarakat pakai Pertamax," sambung Eko.

"Sekarang kan semakin naik harganya. Masyarakat mending ngantri ke SPBU atau beli ke pengecer Pertalite aja, harganya jauh lebih murah," ujarnya.

"Dulu itu bisa untung karena sehari 1.000 liter, masih bisa dapat keuntungan Rp 15 juta per bulan. Tetapi kemudian harga naik-naik terus, ya Pertashop semakin nggak jelas. Sudah 1,5 tahun ini merasa rugi," sambungnya.

Carik Mangunan tersebut terpaksa bertahan karena modal yang digunakan untuk membangun Pertashopnya tidak sedikit, sekitar Rp 500 juta.

Ia pun mengajukan kredit ke bank, agar bisa membuka Pertashop.

Menurut dia, alat yang ia beli seharga Rp 250 juta itu akan sia-sia jika Pertashopnya tutup.

Sehingga ia memilih bertahan, meskipun tidak mendapat keuntungan.

"Kalau rental mobil, nggak laku, mobilnya bisa dijual. Lha kalau ini, siapa yang mau beli, paling tukang rosok, itu juga cuma dihitung beratnya," ucapnya.

"Padahal saya beli alatnya Rp 250 juta, untuk perizinan, dan lain-lain, modalnya itu sekitar Rp 500 juta," jelasnya.

"Makanya ya terpaksa bertahan saja, paling tidak cukup untuk operasional sama bayar gaji satu pegawai. Kadang ya diambilkan dari usaha yang lain (untuk membayar pegawai)," terangnya.

Ia menilai solusi Pertamina yang mengusulkan Pertashop membuka bisnis lain di Pertashop tidak bisa diterapkan. Pasalnya pengusaha Pertashop harus mengeluarkan modal yang besar.

"Jual Pertalite juga tidak bisa, karena harus beli alat lagi, dan lainnya, modal besar lagi. Kami juga nggak tahu, apakah Pertalite ini langgeng atau tidak. Kalau tidak langgeng, mau buat apa (mesinnya), rugi lagi," lanjutnya.

Sementara Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyebut kenaikan harga Pertamax membuat disparitas harga dengan Pertalite semakin tinggi.

Menurut dia, kenaikan harga Pertamax sama saja dengan mempercepat kematian Pertashop.

"Sebelum naik saja sudah banyak Pertashop yang merugi bahkan tutup. Apalagi sekarang disparitas semakin tinggi. Pertashop itu kan di daerah-daerah yang jauh dari SPBU, yang terpencil," sebutnya.

"Lha konsumennya kan sedikit, tidak banyak yang pakai mobil mewah, pakainya Pertalite. Kalau disparitas harga tinggi, tentunya masyarakat akan beralih ke Pertalite," ujarnya.

Membuka bisnis lain di Pertashop juga tidak akan menjadi solusi bagi pengusaha Pertashop.

Pasalnya pengusaha tentu harus mengeluarkan modal lagi.

"Karena kan bukan kor bisnsinya. Kalau harus menambah bisnis lain, tentu pengusaha Pertashop harus mengeluarkan modal lagi. Jadi menambah bisnis lain itu juga bukan solusi untuk pengusaha Pertashop," imbuhnya.

Baca Juga: Bisnis Pertashop Makin Miris, Satu per Satu Gugur, Pengusaha Bongkar Sebabnya