Pihaknya juga menyoroti, pelaku perdagangan Migas (produksi dan distribusi), pengawas, dan pengecer yang menyebabkan kerugian konsumen BBM harus tanggung renteng dikenakan sanksi pidana ini.
Pada SK Dirjen MIGAS No 3674 K/24/DJM/2006 tentang Spesifikasi BBM juga disebutkan, ketentuan tentang pemeliharaan dengan baik atas fasilitas dan infrastruktur BBM.
Tujuannya guna mengurangi kontaminasi, yakni debu, air, minyak lain, dan sebagainya.
“Dan disinilah pokok permasalahan munculnya benda asing pada bensin tersebut. Yaitu keteledoran dalam pengawasan dan audit housekeeping,”
“Atau pemeliharaan fasilitas dan infrastruktur BBM. Seperti Vessel (kapal pengangkut, back loading terminal, tangki transporter, dan tangki SPBU,” urainya merinci.
Baca Juga: Pertamina Gandeng Vale Indonesia, Kembangkan Bahan Bakar Diesel
Masalah BBM buruk adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan kolaborasi dari pemerintah, produsen, dan masyarakat.
Dengan tindakan tegas dan langkah perbaikan yang konsisten, Indonesia dapat memastikan keberlanjutan sektor transportasi dan melindungi lingkungan dari dampak polusi yang lebih parah.
Lebih lanjut, KPBB mengungkapkan BBM di Indonesia belum memenuhi standar Euro 4, yang menjadi penyebab utama kerusakan komponen kendaraan.
Seperti fuel pump, injector, dan catalytic converter, sekaligus memperparah tingkat pencemaran udara di Indonesia.
“Sejak adopsi kendaraan berstandar Euro 4, seharusnya BBM yang dipasarkan memenuhi spesifikasi tersebut. Namun kenyataannya, kualitas BBM kita masih jauh dari standar,” jelas puput.
Menurut laporan KPBB, BBM jenis Pertamax yang dijual di Indonesia memiliki kadar sulfur antara 100-150 ppm, bahkan Pertalite kadar sulfurnya mencapai hingga 200 ppm.
Padahal, standar Euro 4 menetapkan kadar sulfur maksimal 50 ppm. Kandungan sulfur yang tinggi ini tidak hanya mempercepat kerusakan pada komponen kendaraan.
Tetapi juga menghasilkan emisi polutan berbahaya dalam jumlah besar.