Selain itu, ada 2.500 kardus bertulisan kemasan oli ternama, 50 drum oli belum dicampur pewarna, enam drum sisa oli dan 47 drum penyimpanan oli.
Terdapat juga 27 alat cetak berbagai jenis untuk proses pembuatan kemasan, 150 roll stiker untuk label kemasan, 10 karung bijih plastik, dua karung polimaster, serta dua mobil untuk mengangkut hasil produksi.
"Kelompok ini telah beroperasi selama 3 tahun dari 2020, dengan total omzet sekitar Rp 20 miliar per bulannya," ungkap Hersadwi.
Kelima tersangka dijerat empat pasal, yaitu Pasal 100 ayat (1) dan/atau ayat (2) UU No. 20 Tahun 2016 tentang merk dan indikasi geografis.
Kemudian, Pasal 120 ayat (1) Jo Pasal 53 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 2014 tentang perindustrian.
Lalu Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (1) huruf a dan d UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, serta Pasal 382 bis KUHP Jo Pasal 55 tentang persaingan curang dagang.
Para tersangka dijerat keempat pasal tersebut, sesuai modus mereka yaitu memproduksi oli tanpa melalui proses uji laboratorium.
Serta mengedarkan oli palsu yang diproduksi di kesembilan gudang tersebut melalui jaringan distribusi ke toko-toko di berbagai daerah di Indonesia.
"Adanya pemalsuan oli dari berbagai merek ini tentunya merugikan pemilik merek dagang resmi, serta merugikan konsumen," ucap Hersadwi.
"Karena penggunaan oli palsu dalam jangka panjang akan berdampak pada kerusakan terhadap kendaraan konsumen, terutama pada mesin kendaraan," tandasnya.
Baca Juga: Ada Dugaan Aparat Bermain di Bisnis Pemalsuan Oli, Satgasus Bergerak
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR