Otomotifnet.com - Rencana mengenai pembatasan pembelian Pertalite masih mengalami kendala.
Hal ini disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Salah satunya ialah pada proses revisi aturan yang mengikatnya sebagai landasan dasar hukum, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Dijelaskan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, ini dikarenakan sebelumnya izin prakarsa beleid tersebut masih berada di Kementerian lain.
Sehingga perlu proses administrasi ulang.
"Karena prakarsanya berbeda, dibutuhkan proses administrasi dan itu posisinya telah kita sampaikan apa yang dibutuhkan. Untuk substansinya kita sudah final," kata dia dalam Konferensi Pers ESDM Tahun 2022 dan Program Tahun 2023 (30/1/2023).
Namun, Tutuka belum bisa membeberkan lebih jauh detail aturan pembatasan yang bakal dimuat dalam beleid tersebut.
Ia memastikan pihaknya kini masih menunggu keputusan resmi soal izin prakarsa tersebut.
"Sekarang sudah proses. Termasuk draft-nya juga sudah disampaikan. Saat ini kita masih belum ada statement resmi bahwa itu sudah bisa dilanjutkan," ucanya.
Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, realisasi subsidi energi pada tahun 2022 lebih rendah dari target yang ditetapkan.
Merujuk data Kementerian ESDM, realisasi subsidi energi pada tahun 2022 sebesar Rp 157,6 triliun.
Dari jumlah tersebut, realisasi subsidi BBM dan LPG mencapai Rp 97,8 triliun.
Realisasi subsidi energi pada 2022 semula ditetapkan sebesar Rp 211,1 triliun, dengan rincian subsidi BBM dan LPG mencapai Rp 149,4 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 61,7 triliun.
"Penurunan terutama di BBM dan LPG di mana ini tidak separah seperti yang diperkirakan sebelumnya," kata Arifin.
Adapun sebab munculnya rencana pembatasan pembelian BBM subsidi (Pertalite dan Solar) ini, karena konsumsi jenis bahan bakar tersebut yang melebihi dari seharusnya atau cenderung tak terkontrol.
Bahkan anggarannya, naik tiga kali lipat pada 2022 jadi Rp 502,4 triliun dari Rp 152,5 triliun.
Selain itu, pembatasan BBM subsidi, yang mencangkup BBM dengan RON 88 dan RON 89, juga dalam rangka menuju era rendah emisi atau ramah lingkungan di Indonesia.
"Kita secara bertahap menuju ke BBM ramah lingkungan," kata Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Saleh Abdurrahman dikutip dari pemberitaan Kompas.com.
Menurutnya, BBM RON minimal 90 lebih hemat dan lebih bagus untuk mesin kendaraan.
Saleh memastikan, kebijakan ini bukan semata-mata diberikan karena adanya G20 Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan dilaksanakan di Bali pada November 2022 mendatang.
"Kalau ini (larangan penjualan BBM RON 88 dan 89) memang kebijakan kita termasuk refers ke Kepmen KLHK No 20 tahun 2017 tentang emisi gas buang," jelasnya.
Baca Juga: Sopir Licik, Muatan Pertalite di Tangki Truk BBM Dicolong, Dijual Mahal