Otomotifnet.com - Semua komponen yang menempel di motor MotoGP pasti sudah diukur secara presisi.
Termasuk tekanan angin di dalam ban, yang sudah memiliki standar aman.
Setiap variasi tekanan angin tentu akan mempengaruhi performa motor saat melaju.
Sebelumnya, pemasok ban MotoGP, Michelin, membebaskan setiap tim menentukan tekanan udara dalam ban motor pembalapnya.
(Baca Juga: Swing Arm Karbon di Motor MotoGP Fantastis, Harga Satu Biji Miliaran!)
Tetapi Michelin tetap punya standar tekanan yang sebaiknya diikuti oleh setiap tim untuk alasan performa dan keselamatan pembalap itu sendiri.
Awalnya Michelin memakai standar 1,9 bar atau 27,6 psi, namun sudah diturunkan menjadi 1,5 bar atau 21,8 psi.
Tekanan 1,5 bar atau 21,8 psi itu menjadi patokan bawah pengisian tekanan udara di ban MotoGP.
Lalu bagaimana jika kurang dari itu? Apakah performanya menjadi lebih baik?
Sepertinya pertanyaan itu terjawab dari kasus salah satu tim MotoGP, Avintia Ducati, pada 2016 lalu.
Pada tes pramusim MotoGP di Sepang 2016 silam, terjadi kecelakaan karena ban motor pembalapnya, Loris Baz, meletus.
Spekulasinya, kecelakaan terjadi karena tim mengisi tekanan udara di bawah standar Michelin.
Tim Avintia Ducati menurunkan tekanan udara sebesar 0,05 bar atau 0,725 psi, dari standar 1,5 bar atau 21,8 psi.
(Baca Juga: Motor MotoGP Perlu Ganti Empat Komponen Ini Saat Trek Menjadi Basah)
Tapi hal itu dibantah oleh berbagai pihak dan menjadi kritik panas untuk Michelin sendiri.
Setelah kecelakaan itu, MotoGP mewajibkan adanya sensor tekanan angin di dalam pelek dan ban.
Sensor itu akan mendeteksi tekanan ban yang dipakai pembalap.
Tekanan udara rendah memang akan membuat kontak ban dan aspal lebih besar.
Tapi hal itu akan mengurangi stabilitas motor dan membuat suhu ban bisa terlalu tinggi.
Dan ketika suhu terlalu tinggi, cengkeraman ban malah bisa berkurang dan itu berbahaya.
Editor | : | Panji Nugraha |
Sumber | : | GridOto.com |
KOMENTAR