"Belajar dahulu. Jangan modal nekat, saya sudah lima tahun naik motor, yang bilang bisa siapa aja," kata Hendrik (14/6/2023).
"Caranya bagaimana, ikut datang ke SRP (safety riding park), nanti diukur. Misalkan kemampuan pengereman, kemudian ketika slalom kelincahan kurang," ujarnya.
Hendrik mengatakan, tak sedikit orang mengukur kemampuan berkendara dari waktu atau pengalaman.
Padahal kemampuan berkendara alias skill perlu penghitungan spesifik.
"Banyak pengguna motor di jalanan ukurannya 'ah saya 10 tahun naik motor belum pernah tabrakan.' Saya bilang 'ya belum saja', sekalinya tabrakan ringsek nantinya. Ada juga yang bilang baru jago naik motor setelah tabrakan," katanya.
"Padahal belajar motor beda dengan matematika. Belajar matematika kita banyak mengerjakan soal, berlatih, makin inget sama rumus makin benar. Kalau kita naik motor terus belajar dari kesalahan ya tidak bisa," kata Hendrik.
Sementara itu, menanggapi, hal tersebut, Head of Safety Riding Promotion Wahana Agus Sani mengatakan, standar uji SIM di setiap negara tentu berbeda.
Begitu juga yang di Indonesia, pastinya sudah berdasarkan hasil dari masukan beberapa ahli di bidangnya.
"Sangat tidak pas membandingkan standar uji SIM antar negara. Mereka punya standar tertentu," ucap Agus.
Kemudian soal ujian di Indonesia yang dinilai sulit, Agus mengatakan kalau itu cukup standar.
Memang sudah seharusnya para pemohon SIM punya keterampilan dan bisa melewati rintangan tersebut.
"Kalau terlalu mudah, pastinya tidak sesuai dengan kondisi jalan raya di Indonesia," kata Agus.
Lewat ujian SIM yang melewati rintangan zig-zag dan melewati angka delapan, pemohon dilihat, apakah kompeten atau tidak.
Jadi yang bisa lulus ujian SIM hanya orang yang sudah memiliki kemampuan berkendara yang baik.
Baca Juga: Tahun Ini Ujian SIM C1 Buat Bikers Moge Diberlakukan, Ada Batas Umur
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR