Otomotifnet.com - Pak RT dan RW mestinya paham soal aturan pemasangan polisi tidur di jalan.
Karena memasang polisi tidur tidak boleh sembarangan, ada spesifikasi teknis tertentu.
Kasi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, Dinas Perhubungan Sleman Bambang Sumedi Laksono beri penjelasan.
Ia mengatakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dijelaskan jalan itu dikuasai negara dan hanya negara yang dapat melakukan pengaturan.
"Artinya masyarakat badan atau lembaga yang di luar kewenangan itu tidak bisa mengatur sendiri," ujarnya saat dikonfirmasi, (22/6/23).
Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Menteri Perhubungan Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pengguna Jalan, Speed Bump atau polisi tidur adalah alat yang digunakan untuk memperlambat kecepatan kendaraan berupa peninggian sebagian badan jalan dengan lebar dan kelandaian tertentu yang posisinya melintang terhadap badan jalan.
Dengan demikian, speed bump atau polisi tidur ini tidak bisa sembarangan dibuat.
Dalam Permenhub Nomor 14 tahun 2021 di pasal 3 ayat (2) huruf a, speed bump berbentuk penampang melintang dengan spesifikasi sebagai berikut :
1. Terbuat dari bahan badan jalan, karet, atau bahan lainnya yang memiliki kinerja serupa
2. Ukuran tinggi antara 5 cm sampai dengan 9 cm; lebar total antara 35 cm sampai dengan 39 cm dengan kelandaian paling tinggi 50 persen
3. Kombinasi warna kuning atau putih dan warna hitam berukuran antara 25 cm sampai 50 cm.
Lebih lanjut ia mengatakanmasyarakat boleh membuat speed bump namun penentuan titik dan spesifikasinya wajib izin instansi terkait, dalam hal ini Dinas Perhubungan.
Untuk jalan desa atau kabupaten maka izinnya berada di Dishub Kabupaten/kota, jika itu berstatus jalan provinsi maka berada di Dishub Provinsi.
Setelah mengajukan perizinan, maka Dishub akan mengumpulkan instansi terkait, seperti kepolisian, warga setempat, kapanewon, kalurahan atau padukuhan untuk membahas pembuatan speed bump tersebut.
"Masyarakat tidak boleh serta merta membuat polisi tidur, karena di UU 22 tahun 2009, jalan dikuasi oleh negara, hanya negara yang boleh mengatur," ucapnya.
Ia menambahkan, setelah izin dikeluarkan, negara dapat membiayai untuk melakukan pengadaan atau pemasangan terhadap pembatas kecepatan tersebut.
Namun masyarakat, badan atau lembaga juga dapat melakukan pengadaan setelah ditentukan titik dan spesifikasi dari izinnya tersebut.
Sementara itu, terkait dengan kecelakaan, Bambang mengatakan ada empat faktor yang melatarbelakangi timbulnya kecelakaan.
Pertama adalah kondisi jalan, faktor dari orangnya, kendaraan dan dari lingkungan.
"Keempat ini harus dikaji, yang menyebabkan siapa, bukan langsung disimpulkan itu dari sisi jalannya. Misalnya ada kebut-kebutan karena jalannya halus, kemudian bukan harus dipelankan dengan memasang pembatas kecepatan," ucapnya.
Karena jika itu adalah faktor manusianya, di lokasi manapun ia akan kebut-kebutan karena kurangnya ketaatan dan kedisiplinan berlalu-lintas.
"Sebaik apapun kondisi dan perlengkapan jalan, kalau orang tidak mentaatinya ya tidak ada gunanya," tandasnya.
Baca Juga: Sering Dibenci Pengendara, Ini Asal Mula Nama Polisi Tidur, Mirip di Rusia dan Kroasia
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR