D+8 : Minggu, 19 Agustus.
Hari ini kami hanya menempuh jarak 180 kilometer mengikuti aliran sungai Kapuas menuju hulunya.
Melewati Sangau dan siangnya bertemu dengan komunitas Supermoto Sintang atau Senentang.
Setelah makan siang bersama di tengah kolam ikan yang asri, mereka mengajak kami mengunjungi replika perahu Bandong.
Pada zaman dahulu menjadi kendaraan transportasi utama untuk menghubungkan kota-kota di sepanjang aliran sungai Kapuas.
(BACA JUGA: Kaget, Kaget Lo.. Yamaha NMAX Trail Beneran Ada, Ini Wujudnya)
Selanjutnya kami diajak mengunjungi bukit Kelam, yaitu bongkahan batu raksasa yang sangat eksotis yang menjadi ikon kota Sintang.
Sorenya kami keluar dari jalan raya dan masuk ke jalan tanah yang diperkeras dengan batu sejauh 15 kilometer untuk mengunjungi kediamaan suku Dayak Desa’a yang masih berkerabat dengan suku Iban.
Di sana setelah kami bersilaturahmi, oleh kepala dusun kami diberi tawaran untuk bermalam di rumah adat yang disebut rumah Panja’a dengan panjang 118 meter.
Dihuni 24 keluarga, sedangkan rekan-rekan yang lain kembali ke Sintang.
D+9 : Senin, 20 Agustus.
Paginya kami menuju Putussibau yang terletak di kaki pegunungan Schwaner, yang jaraknya 260 kilometer melewati jalan raya yang sepi dan berbukit-bukit.
Sama seperti ketika sampai di Tanjung Isuy begitu mendekati kota paling ujung di hulu sungai Kapuas ini hujan kembali turun.
Menguyur jalanan yang datar menyeberangi rawa-rawa luas untuk pertama kalinya di musim kemarau tahun ini.
Ternyata kedatangan kami sudah ditunggu komunitas Supermoto West Borneo setempat yang langsung mengajak kami mencicipi makanan khas setempat yang disebut krupuk basah.
Hidangan ini mirip empek-empek yang biasanya dimakan mentah dengan sambal. Namun bagi yang tidak tahan dengan rasanya yang amis bisa digoreng.
(BACA JUGA: Trail Kawasaki Aja Pakai Teknologi MotoGP, Fungsinya Malah Bikin Jinak)