Aktivitas sosial tersebut kini dihentikan dahulu sembari melihat sejauh mana aturan itu ditegakan.
Mereka takut ketika tetap beraktivitas sosial di jalanan ada yang memfoto lalu dilaporkan petugas.
"Kami terakhir bagikan nasi bungkus Jumat pekan kemarin, minggu ini dan seterusnya belum ada rencana turun ke jalan, kami lihat situasi dulu seperti apa," bebernya.
Di samping itu, Ia prihatin dengan peraturan tersebut sebab para relawan takut siapa yang peduli kepada orang-orang jalanan tersebut.
Pemkot seharusnya melihat kondisi real di lapangan, coba periksa pada malam hari di sejumlah daerah meliputi Palang Petek, Bubakan, Agus Salim, Mgr Sugiyopranoto.
Di lokasi yang disebutnya, terdapat puluhan gelandangan yang setiap malam tidur di tempat tersebut.
Begitupun halte-halte BRT setiap malam menjadi kamar tidur bagi para gelandangan semisal di Imam Bonjol, Karangayu dan lainnya.
"Kami prihatin, pemerintah kurang peduli tapi masyarakat biasa yang peduli malah ditakut-takuti dengan sanksi seperti itu," ungkapnya.
Terpisah, anggota Relawan Semarang Hebat (RSH) Siswanto menjelaskan, tidak setuju semisal aturan itu ditegakan di tengah kondisi masyarakat yang sedang sulit.
Di tengah kenaikan BBM masyarakat sudah beruntung masih ada yang mau berkegiatan sosial.
"Eh, mau kegiatan sosial seperti bagi nasi bungkus malah kena Rp 1 juta, besar lho uang sejuta, apalagi saat BBM naik seperti saat ini," ujar pria berkepala plontos itu.
Ia berharap, pemkot Semarang boleh saja memberlakukan aturan itu hanya saja harus disertai solusi.
Semisal ada tempat penampungan bagi para gelandangan.
Selain itu, pelatihan kerja bagi para pengemis, pengamen, manusia silver maupun pekerja jalanan lainnya.
"Bukan hanya fokus menyasar ke pemberi sedekah, mereka itu memanusiakan manusia. Pemerintah kalau mau beri larangan berilah solusi," terangnya.
Baca Juga: Pengemis Tua Ini Sehari Dapat Rp 200 Ribu, Pamer Punya Toyota Avanza
Editor | : | Panji Nugraha |
KOMENTAR