“Permasalahan ini tidak boleh dipolemikan berkepanjangan. Tapi yang lebih penting bahwa permasalahan ini harus kita dudukan pada koridor hukum lalu lintas dan angkutan jalan, sebagai solusi,” urainya lagi.
Ia memaparkan landasan hukum dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Antara lain telah mengatur tentang pelanggaran dan ketentuan pidananya.
Dalam pasal 70 ayat 2 UULLAJ, bahwa STNK dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) berlaku selama 5 tahun yang harus dimintakan pengesahan setiap tahunnya.
Mekanisme pengesahan STNK dilakukan oleh anggota Polri setelah pemilik ranmor membayar pajak. Pengesahan dan pembayaran pajak STNK merupakan satu kesatuan.
Lanjut dalam Perpol pasal 15 ayat 3, bahwa registrasi pengesahan berfungsi sebagai pengawasan terhadap legitimasi pengoperasian ranmor.
“Pengesahan STNK dan pembayaran pajak dapat digunakan sebagai fungsi kontrol, untuk melihat sejauh mana ketaatan dan disiplin pemilik ranmor,” ujar Budiyanto.
Baca Juga: Ugal-ugalan di Jalan Berujung Kasus, Damai Enggak Semudah Tempel Materai
Dengan demikian, pemilik ranmor yang tidak melakukan registrasi pengesahan STNK atau tidak membayar pajak, dianggap STNK-nya tidak sah, dan merupakan pelanggaran lalu lintas.
“Dalam penegakan hukum terhadap pajak mati, berkaitan dengan keabsahan STNK. Karena dalam UULLAJ mengatur masa berlaku STNK selama 5 tahun, dan harus dimintakan pengesahan setiap tahunnya,” sambungnya.
Pelanggaran terhadap ranmor yang tidak melakukan registrasi pengesahan dapat dikenakan pasal 288 ayat 1 UULLAJ.
Terancam pidana kurungan paling lama 2 bulan, atau denda paling banyak Rp 500.000. Penetapan besaran denda tilang tetap berada di putusan Pengadilan.