Berikut aturan jelasnya, "(1) Setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib memasang segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau isyarat lain pada saat berhenti atau parkir dalam keadaan darurat di jalan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping."
Sesuai peraturan tersebut, penggunaan lampu hazard yang benar adalah digunakan bila kendaraan mogok.
Baca Juga: Baru Tahu, Asal Pakai Lampu Hazard Bisa Kena Sanksi Pidana dan Denda Mencengangkan
Sementara, etika di jalan raya dibuat oleh para pengemudi bukan murni landasan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang (UU).
Pada dasarnya, etika tidak tertulis seperti penggunaan lampu dan sebagainya memang sebenarnya untuk berempati antar pengemudi.
Menurut Jusri, jawabannya pun ada yang pro dan kontra.
Bila di maknai secara baik, memang bisa membantu pengemudi sebagai kode.
Tapi, kenyataannya tetap berbahaya dan mengganggu visibilitas pengguna jalan yang lainnya.
"Di jalan raya kan juga dibutuhkan saling tenggang rasa. Empati antar pengguna jalan. Bila dipahami, bahaya datang karena silau lampu itu yang membuat fokus terganggu," jelasnya.
Baca Juga: Inilah Alasan Lampu Kabin Mobil Tidak Boleh Nyala di Malam Hari, Simak
"Jadi membingungkan pengemudi lain," terangnya.
Sony Susmana, Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia mengatakan, konsentrasi di jalan yang terganggu rawan memicu kecelakaan.
Kasus lampu hazard sebagai kode membuat manuver kendaraan tidak terbaca oleh pengguna jalan yang lain.
"Itu kan membuat lampu sein kendaraan tidak terbaca. Tiba-tiba mobil berbelok, tapi yang menyala hazard. Risikonya besar. Di jalan tol, terowongan, atau persimpangan bisa menyebabkan kecelakaan," ujarnya.
Baca Juga: Underpass Depok Galak Bagi Pengendara, Berhenti Kena Denda Rp 250 Ribu